Adanya upacara-upacara adat yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama atau pun kepercayaan mereka. Upacara-upacara tersebut merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib agar senantiasa diberikan kesejahteraan serta dijauhkan dari berbagai malapetaka dan bencana.
Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, upacara-upacara adat yang meliputi hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki arti penting sehingga selalu rutin diselenggarakan. Upacara tersebut digelar sebagai pertanda kebesaran kerajaan sekaligus juga sebagai alat pemersatu untuk wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat.
Sejak zaman kerajaan Majapahit, sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari-hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Bahkan setelah masuknya agama dan kebudayaan Islam, upacara-upacara tersebut juga masih dilestarikan, hanya saja kemudian diwarnai dengan unsur-unsur islami.
Sekaten
Salah satu di antara perayaan upacara adat yang masih dilestarikan keberadaannya hingga kini adalah "Sekaten". Upacara sekaten pada mulanya merupakan upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari kerajaan Majapahit akhir. Setelah masuknya agama Islam, upacara tersebut kemudian diubah menjadi upacara "Sekaten" oleh Sunan Kalijaga pada masa kekuasaan Kerajaan Demak.
Sebelum diberi unsur Islam, Nama Sekaten sendiri merupakan penyesuaian makna dari nama "Jimat Kalimasada" yang berarti "Kali-Maha-Usaha" (obat mujarab dari Dewi Kali). Pada zaman Islam, Kalimasada mendapat makna baru yaitu "Kalimat Syahadat". Oleh karena itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para Wali kemudian diubah menjadi Syahadatain (Sekaten).
Syahadatain berarti dua kalimat Syahadat, yang mana merupakan asas dan dasar dari lima rukun Islam, juga sebagai ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Kalimat pertama merupakan syahadah at-tauhid, sedangkan kalimat kedua merupakan syahadah ar-rasul. Kedua kalimat tersebut dalam syariat Islam merupakan sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Tuhan (Allah) dan Muhammad sebagai rasulNya.
pic. via travelisme.com |
Upacara Sekaten pada masa Islam kemudian dirayakan dengan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja terbesar Mataram. Bahkan sampai sekarang, upacara tersebut tetap diselenggarakan setiap tahunnya di Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam. Rangkaian perayaan Sekaten biasanya berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah).
Beberapa acara penting pada saat perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung. Puncaknya, sebagai bentuk syukur pihak istana dikeluarkan sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat. Perayaan ini dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut "Sekatenan") yang berlangsung selama sekitar 40 hari dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).
Macam-macam Perayaan Grebeg
Sultan Agung, Sang Raja Mataram memang dikenal akan banyak peranannya dalam pengembangan kebudayaan di jawa. Sultan Agung senantiasa berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Pada perayaan hari-hari besar keagamaan, Sultan Agung juga mengembangkan rintisan para Wali dengan mengagendakan perayaan Grebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, dikenal adanya 3 macam Grebeg, yaitu:
- Grebeg Pasa/Syawal, yaitu perayaan untuk menghormati bulan suci Ramadhan dan malam Lailatul Qadar yang diadakan setelah berakhirnya kewajiban puasa, yakni pada hari raya Idul Fitri. Grebeg Pasa/ Syawal juga dapat dimaknai untuk menandai kemenangan bagi umat muslim setelah berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
- Grebeg Besar, yaitu perayaan hari raya Idul Adha yang jatuh pada bulan Zulhijah, atau biasa disebut "Besar" pada penanggalan Jawa. Pada perayaan ini, Sultan menyerahkan sejumlah hewan untuk dijadikan kurban. Selain prosesi ibadah kurban, perayaan ini juga merupakan peringatan puncak ibadah Haji yang dilaksanakan umat Islam di tanah Suci.
- Grebeg Maulud, yaitu perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Mulud (Rabiulawal). Tujuannya yaitu untuk memetik suri tauladan dari kehidupan Rasullulah SAW. Tradisi ini kabarnya sudah dimulai sejak zaman Kesultanan Demak dan masih dilestarikan hingga kini dengan adanya perayaan Sekaten.
Itulah sekilas mengenai Sekaten dan berbagai perayaan Grebeg bagi masyarakat Jawa. Dapat dipahami bahwa upacara-upacara tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan jawa dengan nilai-nilai Islam, sehingga keberadaannya memang patut untuk dilestarikan. Demikian. Semoga bermanfaat.