Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Desa Ngaringan Gandusari Blitar

Minggu, 31 Mei 2020

Kitab-Kitab Kuno (Sastra Sejarah) dari Masa Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia

Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu-Budha di tanah Nusantara ini, bidang kesusastraan juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Para pujangga pada masa itu telah berhasil menulis sejumlah kitab-kitab sastra tingkat tinggi yang keberadaannya dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk menyingkap suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lampau. Berkembangnya kesusastraan Nusantara pada masa Hindu Budha secara umum dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu:

  1. Zaman Mataram lama (sekitar abad ke 9 dan 10)
  2. Zaman Kediri (sekitar abad ke 11 dan 12)
  3. Zaman Majapahit I (sekitar abad ke 14)
  4. Zaman Majapahit II (sekitar abad ke 15 dan 16), sebagian kesusastraan pada masa ini berkembang di Bali (zaman Kerajaan Samprangan Gelgel). 

Hasil-hasil kesusastraan pada masa-masa tersebut di atas pada umumnya ditulis dalam bentuk gancaran (prosa) dan tembang (syair). Namun sebagian besar berbentuk tembang. Tembang Jawa Kuno biasanya disebut dengan Kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengahan disebut Kidung. 

Ditinjau dari segi isinya, kitab-kuno hasil karya sastra pada masa Hindu-Budha tersebut dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

  • Tutur atau kitab keagamaan, seperti Sang Hyang Kamahanikam yang disusun pada masa pemerintahan Empu Sindok (Mataram lama).
  • Kitab Hukum, termasuk di dalamnya kitab-kitab sasana yang berisi peraturan-peraturan untuk golongan masyarakat tertentu. Misalnya Resisasana yang menguraikan kedudukan dan hak-hak serta kewajiban para resi. 
  • Wiracarita atau cerita kepahlawanan, seperti Ramayana dan Mahabharata. 
  • Kitab Sejarah, seperti Nagarakertagama dari zaman Majapahit. 

kitab sastra kuno
naskah lontar Negarakertagama via wikipedia

Kemungkinan ada banyak hasil-hasil kesusastraan lama yang ditulis pada masa berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di negeri ini. Namun pada saat Islam kemudian dianut oleh masyarakat Jawa, kitab-kitab sastra tersebut kurang mendapat perhatian sehingga naskah-naskah yang banyak ditulis di atas daun lontar tersebut tidak bertahan lama. Meski begitu, ada beberapa kitab-kitab sastra lama dari masa Hindu Budha yang masih bisa diketahui sampai sekarang. Berikut di antaranya:

1. Sang Hyang Kamahayanikam

Kitab ini disusun dalam bentuk prosa antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama pada masa kekuasaan Empu Sindok dari kerajaan Mataram kuno. Kitab ini menjelaskan tentang ajaran Buddha aliran Tantrayana. Kitab ini juga berisi mantra-mantra dan diagram serta mudra dalam posisi sentral sebagai bentuk formula rahasia yang bersifat mistis.

2. Arjuna Wiwaha

Kitab sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun1019 sampai dengan 1042 Masehi. Kitab ini menceritakan tentang perjuangan Sang Arjuna yang penuh tantangan dan ujian hingga kisah cintanya dengan Dewi Supraba. kitab ini juga menguraikan serangkaian pedoman atau pegangan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. 

3. Bharatayudha

Kitab sastra berbentuk kakawin ini digubah oleh dua orang yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabaya (Kediri). Kitab ini menceritakan peperangan antara kaum Kurawa dan Pandawa atau biasa disebut peperangan Bharatayuddha. Kitab ini juga merupakan simbolisme dari perang saudara yang terjadi antara Kerajaan Kediri/ Panjalu dan Kerajaan Jenggala.

4. Negarakertagama

Kitab ini ditulis dalam bentuk kakawin (syair) Jawa Kuna oleh Empu Prapanca pada tahun 1365. Kitab ini menguraikan keadaan keraton Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (raja keempat Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389), daerah kekuasaannya, kondisi keagamaan, dan sebagainya. Kitab ini mempunyai peran besar bagi penulisan sejarah Indonesia, dimana isinya banyak yang bersesuaian dengan sumber-sumber prasasti. 

5. Sutasoma 

Kitab ini ditulis oleh Empu Tantular pada abad ke 14. Isinya menceritakan tentang Sutasoma, seorang putra raja yang keluar dari istana dan memutuskan untuk menjadi seorang pendeta Budha. Isi kitab ini juga mengajarkan tentang toleransi antar umat beragama pada masa itu, terutama antar agama Hindu - Siwa dan Buddha. Selain itu, dalam kitab ini juga terdapat ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" yang kini dijadikan sebagai motto dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

6. Pararaton

Diperkirakan kitab ini berasal dari tradisi lisan sehingga tidak ditemukan nama pengarangnya. Meski berbau dongeng yang penuh dengan kegaiban, kitab ini dimaksudkan sebagai karya sejarah, menguraikan tentang tokoh Ken Arok beserta raja-raja Singasari lainnya, kisah tentang Raden Wijaya semenjak menjadi menantu Kertanegara (Raja Singasari terakhir) sampai menjadi raja Majapahit, dan lain sebagainya. Kitab ini juga menguraikan informasi mengenai silsilah anggota keluarga kerajaan Majapahit.

7. Sundayana

Kitab ini menceritakan nasib Raja Sunda, Sri Baduga Maharaja yang datang ke Majapahit untuk mengantarkan puterinya, Dyah Pitaloka untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi di Bubat terjadi perselisihan dengan Gajah Mada sehingga terjadi pertumpahan darah (perang Bubat) dimana rombongan Raja Sunda ini terbunuh. 

8. Panji Wijayakrama 

Kitab ini menceritakan tentang riwayat Raden Wijaya sampai ia menjadi Raja di Majapahit. 

9. Ranggalawe

Mengisahkan tentang pemberontakan Ranggalawe dari Tuban terhadap Raja Jayanegara. 

10. Sorandaka

Mengisahkan tentang pemberontakan Sora terhadap Raja Jayanegara. 

11. Pamancangah

Mengisahkan para Dewa Agung dari Kerajaan Gelgel (Bali). 

12. Usana Jawa

Menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar. Diceritakan pula tentang penumpasan raja raksasa Maya Danawa dan pemindahan keraton Majapahit ke Gelgel. 

Rabu, 27 Mei 2020

Mengenal Suku Nias dan Mitologinya

Masing-masing suku bangsa biasanya memiliki kisah, dongeng, legenda, atau mitologi yang mengisahkan cerita masa lampau tentang asal usul mereka jauh ke belakang dimulai sejak adanya manusia pertama hingga terciptanya suatu kolektif yang dikenal sebagai masyarakat atau pun suku bangsa. Kisah-kisah tersebut diwariskan secara turun-temurun sebagai milik bersama, sebagai simbol identitas bersama, dan sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka. Salah satu contohnya adalah mengenai mitos mengenai terjadinya mado-mado (semacam marga patrilineal) dari masyarakat di pulau Nias. 

lompat batu suku nias
via kaskus.co.id

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Nias, terletak di sebelah barat pulau Sumatra dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatra Utara. Orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. 

Berdasarkan penelitian Arkeologi, keberadaan penghuni (manusia) di pulau Nias diperkirakan sudah ada sejak 12.000 tahun silam. Hasil penelitian menunjukan bahwa mereka bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau menurut  Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu, hanya budaya Hoabinh, Vietnam, yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara disebut Vietnam. 

Sementara penelitian genetika terbaru menemukan bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia, yang diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. 

Mitologi Asal Usul Suku Nias

Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya diciptakan oleh Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai mencipta langit, ia menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut tora'a. Pohon itu kemudian berbuah dua dan harus dierami supaya menetas. Setelah dierami oleh seekor laba-laba yang merupakan jelmaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini, yaitu Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang berjenis kelamin perempuan. 

Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu bernama Sirao. Sirao kemudian menjadi raja langit lapisan pertama yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit lapisan pertama ini disebut teteholi ana'a. Sirao mempunyai tiga orang istri dan dari mereka masing-masing menurunkan tiga orang anak laki-laki. Pada saat Sirao berusia lanjut dan hendak mengundurkan diri dari pemerintahan, timbul pertentangan di antara kesembilan putranya untuk memperebutkan singgasana. Untuk mencegah pertentangan itu, Sirao kemudian mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas sembilan mata tombak.

Sayembara itu ternyata kemudian dimenangkan oleh putra bungsunya yang bernama Luo Mewona. Kebetulan juga putra bungsunya ini adalah putra yang paling dikasihi dan dihormati oleh rakyatnya. Hal itu disebabkan ia memiliki sifat rendah hati walaupun ia seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Oleh karena itu, ia segera dikukuhkan sebagai dipertuan di teteholi ana'a menggantikan ayahnya. Untuk menentramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao mengabulkan permohonan mereka untuk dinidadakan (diturunkan) ke tano niha atau tanah manusia, yang merupakan nama asli dari Pulau Nias. (diolah dari berbagai sumber

Rabu, 20 Mei 2020

Kumpulan Paribasan (Peribahasa) Jawa dan Maknanya (O - Y)

Dalam berbagai kebudayaan, peribahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Peribahasa biasa digunakan untuk menyampaikan pesan, nasehat, sindiran, dan teguran kepada orang lain lewat bahasa yang lumrah digunakan oleh masyarakat tersebut. Peribahasa juga biasa digunakan untuk memberikan teguran atau mengingatkan orang lain akan kesalahannya dengan susunan kata atau kalimat yang tidak menyinggung atau melukai perasaannya. 

orang jawa

Artikel berikut ini merupakan bagian terakhir dari trilogi kumpulan paribasan Jawa dan Maknanya. Untuk anda yang belum membaca 2 bagian sebelumnya, silahkan bisa anda baca lewat link berikut ini:




O

Obah mamah : asal mau bekerja, rezeki pasti bakal datang. 

Obah ngarep kobet mburi : lebih baik bersusah payah dulu, karena nantinya akan hidup enak.

Opor bebek mentas awake dhewek : lolos dari kesulitan yang dibuatnya sendiri. 

Ora ana banyu mili mendhuwur : watak anak pasti biasanya meniru watak orang tuanya. 

Ora ana kukus tanpa geni : kalau ada berita pasti ada kejadian (tidak ada akibat tanpa sebab). 

Ora ana tekan wedi ing jeglogan : tidak ada orang yang senang mengumbar nafsunya takut pada bahaya. 

Ora ganja ora unus : buruk rupanya, juga buruk hatinya. 

Ora kena diampu-ampu : orang yang tidak bisa dipaksa siapa pun. 

Ora mambu enthong irus : bukan saudara, bukan kerabat (tidak memiliki hubungan sama sekali).

Ora tedheng aling-aling : orang jujur tidak takut pada orang lain. 

Ora tembung ora lawung : mengambil tanpa minta izin dulu. 

Ora uwur ora sembur : tidak mau ikut rembuk atau memberi bantuan sedikitpun. 

Ora weruh marang kenthang kimpule : tidak tahu awal mula kejadiannya. 

Othak athik didudut angel : katanya seolah mudah, setelah diseriusi ternyata sulit. 

P

Padu jiwa dikanthongi : pintar omongan. 

Palang mangan tandur : diberi kepercayaan tetapi malah disalahgunakan. 

Pandengan karo srengenge : bermusuhan dengan orang berkuasa. 

Pecruk tunggu bara : diberi mandat yang menjadi kesukaannya. 

Peking abuntut merak : perkara sepele menjadi besar. 

Pitik trondhol diumbar ing padaringan : orang jahat diberi kepercayaan menjaga barang berharga. 

Punjul ing apapak : orang yang memiliki kemampuan lebih dari rata-rata. 

Pupur sadurunge benjut : berhati-hati sebelum mendapat celaka. 

Pupur sawise benjut : berhati-hati setelah terlanjur terjadi. 

R

Raga tanpa mule : orang yang diuji oleh orang lain. 

Rampek-rampek kethek : mendekat hanya untuk membuat kerugian (onar). 

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung : semua yang menghalang-halangi disingkirkan. 

Rebut balung tanpa isi (rebut kemiri kobong) : Perselisihan akibat perkara sepele.

Renggang gula, kumepyur pulut : berteman dekat. 

Rindhik asu digitik : diberi tugas pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. 

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah : kerukunan menjadikan hidup sentosa, sedangkan pertikaian menjadikan kerusakan. 

Rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa : merasa pintar tanpa berkaca pada diri sendiri. 

S

Sabegja-begjane kang lali, luwih begja wong sing tansah eling lan waspada : seberuntungnya orang lupa lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada (berhati-hati). 

Sadawa-dawane lurung, isih dawa gulung : kenyataan yang ditutupi, pada suatu saat bakal terkuak dan tersebar. 

Sadulur sinawa wedi : persaudaraan atau pertemanan dekat. 

Sadumuk bathuk sanyari bumi : perselisihan sampai nyawa taruhannya (dipertahankan sampai mati). 

Sanadyan padhang mripate, nanging peteng atine : kelihatan senang padahal dirundung kesedihan. 

Sandhing kebo gupak : berdekatan dengan orang jahat bisa ketularan jahat. 

Sandhing kirik gudhiken : bergaul dengan orang jahat bisa ketularan menjadi jahat. 

Sapa nandur ngundhuh : siapa suka menanam hal baik maka akan mendapatkan hasil baik. 

Sapa sing salah bakal seleh : siapa yang salah bakal ketahuan. 

Sepi ing pamrih, rame ing gawe : melakukan pekerjaan tanpa pamrih.
 
Satru munggwing cengklakan : musuh dalam ketiak (musuh yang masih bersaudara).

Sedhakep ngawe-awe : sudah berhenti berbuat jahat, tapi masih ingin mengulanginya lagi. 

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem : bisa terlaksana berkat doa orang banyak. 

Sima bangga tanpa sarana : mengamuk tanpa sebab yang jelas. 

Singidan nemu macan : bersembunyi tapi malah ketahuan atasannya. 

Sumur lumaku tinimba : menawarkan ilmu supaya dicari dan dipelajari (ibarat guru mencari murid). 

T

Tan milik tan nampik : tidak kepingin dan tidak menampik. 

Tebu tuwuh socane : hal baik menjadi rusak karena ada yang mengacau. 

Tengu ngadu gajah : orang kecil mengadu orang berkuasa. 

Tekek mati ing ulane : mendapat celaka akibat perkataannya sendiri. 

Tembang rawat-rawat, ujare bakul sinambewara : kabar yang belum pasti benar salahnya. 

Thathit ngima uthit : penguasa yang suka pamer kekuasaannya. 

Tigan kapit ing sela : orang yang tidak berdaya malah digencet orang berkuasa.

Timun jinara : perkara yang sangat mudah. 

Timun wungkuk jaga imbuh : hanya dibuat dijaga-jaga kalau kurang. 

Tinggal glanggang acolong playu : lari dari peperangan. 

Tumbak cucukan : orang yang suka mengadu domba. 

Tulung (nulung) menthung : kelihatannya menolong tapi sesungguhnya membuat celaka. Atau versi lain 'ditulung menthung' : sudah ditolong malah dibalas membuat celaka. 

Tumbu oleh tutup : pertemanan yang cocok sekali. 

Tuna sathak bathi sanak : rugi harta tapi untung dalam persaudaraan. 

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati : keturunan orang besar (berkuasa) menjadi orang kecil (bawah), sebaliknya keturunan orang besar menjadi orang kecil. 

Tunggal banyu : tunggal (satu) ilmu tunggal (satu) guru/seperguruan. 

Tut Wuri Handayani : memberi kelonggaran, tapi juga memberi dorongan dan arahan baik. 

U

Ula marani gebug : sengaja mendatangi bahaya. 

Ulat madhep ati karep : sudah mantap niatnya. 

Undhaking pawarta, sudaning kiriman : suatu kabar berita ternyata berbeda dengan kenyataannya. 

Ungak-ungak pager arang : kelakuan yang memalukan.. 

Urip ing alam donya kaya wong mampir ngombe : hidup di dunia hanya sebentar. 

Uyah kecemplung segara : orang melarat memberi sumbangan kepada orang kaya. 

 
W

Wani ngalah dhuwur wekasane : berani mengalah pada akhirnya akan mendapat kuasa. 

Wedi wewayangane dhewe : merasa takut karena pernah berbuat tidak baik. 

Welas tanpa alis : merasa kasihan pada orang yang menjadikan sengsaranya. 

Wis kebak sundukane : banyak sekali kesalahannya.

Wiwit kuncung nganti gelung : dari kecil hingga tua. 

Wong pinter keblinger : meski pintar tapi kalah karena tidak hati-hati. 

Y

Yitna yuwana lena kena : yang berhati-hati akan mendapat selamat, yang sembrono akan mendapat celaka. 

Yiyidan munggwing rampadan : orang jahat berubah menjadi orang alim/baik. 

Yoga anyangga yogi : murid menirukan ajaran dari gurunya. 

Yuwana mati lena : orang baik mendapat celaka karena kurang hati-hati. 

Yuyu rumpung mbarong ronge : rumahnya besar tapi sebetulnya miskin. 

Itulah kumpulan peribahasa atau paribasan jawa yang kami urutkan kalimatnya dari huruf abjad A hingga Y. Tentunya ada banyak pengajaran yang dapat diambil dari peribahasa-peribahasa di atas. Semoga bermanfaat. 

Selasa, 19 Mei 2020

Kumpulan Peribahasa Jawa dan Maknanya (J - N)


Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya (baca: Kumpulan Paribasan Jawa dan Maknanya (A - I)), pada artikel kali ini akan kami lanjutkan uraian mengenai kumpulan peribahasa Jawa yang sarat akan aturan-aturan berperilaku, prinsip, atau nasihat tentang kehidupan ala orang jawa. Harapannya, semoga kita dapat mengambil pesan-pesan bijak dan nilai-nilai positif di dalamnya sebagai pelajaran dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Semoga bermanfaat. 


J

Jagakake (njagagake) endhoge si blorok : mengandalkan hal-hal yang belum pasti atau belum jelas kapan datangnya. 

Jajah (njajah) desa milang kori : menjelajah/ bepergian ke mana-mana (berbagai daerah). 

Jalma angkara mati murka : mendapatkan celaka lantaran akibat angkara murkanya sendiri. 

Jalma limpat seprapat tamat : cerdas dan terampil akan dapat menyelesaikan masalah. 

Jalukan ora wewehan : senang meminta tapi tidak mau memberi. 

Jangkrik mambu kili : gampang marah dan kurang perhitungan. 

Janma tan kena kinaya ngapa : manusia tidak bisa dikira atau diterka. 

Jaman iku owah gingsir : zaman itu akan berubah, silih berganti.

Jamur tuwuh ing sela : kejadian yang entah kapan kesampaiannya. 

Jarit luwas ing sampiran : mempunyai kepandaian tapi tidak digunakan. 

Jati ketlusuban luyung : kumpulan orang baik yang kemasukan orang jahat. 

Jer basuki mawa beya : terwujudnya cita-cita atau harapan itu membutuhkan dana (biaya). 

Jujul (njujul) wuwul : perkara yang menambah masalah menjadi semakin sulit. 

Junjung (njunjung) ngentebake : pujian yang bermaksud untuk menghinakan/ menjatuhkan. 

Jurang grawah ora mili : orang yang suka mengiyakan pekerjaan tapi tidak pernah dikerjakan. 

K

Kacang ora ninggal lanjaran : anak biasanya akan meniru kebiasaan orang tuanya. 

Kadang konang : mengaku saudara hanya pada yang kaya saja. 

Kadang tunggal welat : saudara seayah seibu. 

Kaedusan banyu sesiwur : mendapat bagian sedikit karena banyak dibagikan pada orang lain (hanya mendapat sisa). 

Kakehan gludhug kurang udan : kebanyakan omong tapi tidak ada buktinya. 

Kalah cacak menang cacak : tergantung keberuntungan, bisa kalah juga bisa menang. 

Kandhang langit, kemul mega : orang yang tidak memiliki tempat tinggal. 

Karna binandhung : hanya mendengar dari orang lain, tidak mendengar sendiri sumber beritanya. 

Katon cepaka sewakul : disukai orang banyak. 

Katoya rasa upaya : mudah tergoda rayuan manis. 

Kawuk ora weruh marang slirane : mencari keburukan orang lain, tapi dirinya sendiri banyak cacat. 

Kaya banyu karo lenga : orang yang tidak bisa rukun (selalu bermusuhan). 

Kaya mimi lan mintuna : rukun, selalu menepati janji, sulit dipisahkan.

Kebanjiran segara madu : mendapat keberuntungan sangat besar. 

Kebat kliwat gancang pincang : bekerja dengan tergesa-gesa hasilnya mesti tidak baik. 

Kebo bule mati setra : orang pandai tapi tidak ada yang mendayagunakan. 

Kebo ilang tombok kandhang : sudah kehilangan malah harus keluar biaya lagi. 

Kebo kabotan sungu : orang yang hidupnya susah karena berat dalam menghidupi anak-anaknya (banyak beban hidup).

Kebo lumaku dipasangi : orang yang meminta pekerjaan kepada orang lain. 

Kebo lumumpat ing palang : mengadili suatu perkara tanpa memakai aturan. 

Kebo mulih menyang kandhange : orang atau barang yang hilang kembali pulang ke asalnya. 

Kebo mutung ing pasangan : orang yang meninggalkan pekerjaannya karena merasa keberatan. 

Kebo nusu gudel : orang tua meminta perlindungan kepada orang muda. 

Kecik-kecik yen udhu : dalam musyawarah sudah lumrahnya kalau punya usul. 

Kecocog ing carang landhep : mendapat cobaan yang lebih besar. 

Kegedhen empyak kurang cagak : keinginan terlalu besar, tapi kurang kecukupan. 

Kejugrugan gunung menyan/kembang : mendapat keberuntungan sangat besar.

Kekudhung walulang macan : Berbohong dengan cara meminta tolong pada orang yang dipercaya. 

Kelacak kepathak : sudah tidak bisa mengelak lagi karena sudah terbukti. 

Kemladheyan ngajak sempal : seperti benalu, ikut numpang tempat tapi justru membuat rusak. 

Kenaa iwake aja buthek banyune : mewujudkan keinginan tanpa harus membuat keramaian. 

Kencana katon wingka : walaupun tampan atau cantik tapi tidak disukai. 

Kendel ngringkel, dhadag ora godak : mengaku berani dan pandai, ternyata sebenarnya penakut dan bodoh. 

Kenes ora ethes : banyak omong tapi bodoh.

Keplok ora tombok : ikut senang-senang, tapi tidak mau ikut mengeluarkan dana. 

Kere munggah bale : orang kecil yang dijadikan orang besar (naik derajatnya). 

Kerot ora duwe untu : punya keinginan tapi tidak punya biaya. 

Kerubuhan gunung : mendapat kesusahan yang sangat besar. 

Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang : menemui bahaya yang tidak disangka-sangka. 

Ketapang ngrangsang gunung : terlalu besar harapan, tapi mustahil bisa terlaksana. 

Kethek saranggon : kumpulan orang-orang bejat (berperilaku buruk). 

Ketula-tula ketali : selalu mendapat sengsara. 

Klenthing wadah masin : suatu kebiasaan buruk, meski sudah berhenti tapi adakalanya bisa berbuat buruk lagi. 

Kleyang kabur kanginan, ora sanak ora kadhang : orang yang hidup terlunta-lunta. 

Kongsi jambul wanen : hingga usia sangat tua. 

Kraket ing galar : orang yang miskin sekali. 

Kriwikan dadi grojogan : perkara kecil menjadi besar. 

Kuncung nganti gelung : dari kecil hingga dewasa. 

Kulak warta adol rungu : mencari kabar penting. 

Kementhus ora pecus : suka banyak omong tapi tidak ada apa-apanya. 

Kurung munggah lumbung : pembantu yang diambil istri oleh majikan pemilik rumah. 

Kuthuk nggendhong kemiri : mendapat penghargaan lewat jalan yang beresiko (bahaya). 

Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk : mendekat pada bahaya. 

Kuwat drajat : bisa menjadi pemimpin. 

L

Ladak kacengklak : orang angkuh mendapat musibah akibat kelakuannya sendiri. 

Lahang karoban manis : tampan/cantik parasnya, luhur budinya pula. 

Lambe satumang kari samerang : berkali-kali menasehati tapi tidak digugu. 

Lanang kemangi : pria penakut. 

Ledhang-ledhang nemu pedhang : mendapat keberuntungan tanpa disengaja. 

Legan golek momongan : sudah hidup enak tapi malah cari pekerjaan yang berat. 

Legine ngemut gula : orang yang diberi amanah menjaga barang (harta), tapi malah ingin memiliki barang tersebut. 

Lobok atine : sabar, tidak mudah marah. 

Lumpuh ngideri jagad : punya keinginan yang mustahil terwujud. 

Lunyu ilate : omongannya tidak bisa dipercaya.

M

Madu balung tanpa isi : memperkarakan barang yang tidak berguna. 

Maju tatu mundur ajur : perkara yang membuat jadi serba salah. 

Mbalung usus : keinginan yang kadang meredup dan kadang meninggi (muncul). 

Merangi tatal : mengusik hasil musyawarah yang sudah disepakati. 

Mikul dhuwur mendhem jero : menjunjung tinggi nama baik/derajat orang tua.

Milih-milih tebu oleh boleng : akibat banyak pilihan malah akhirnya dapat yang jelek. 

N

Nabok nyilih tangan : berbuat jelek dengan menyuruh/ menggunakan orang lain. 

Nambung laku : pura-pura tidak tahu. 

Nandur kabecikan, andhedher kautaman : berbuat baik kepada orang lain, pasti suatu saat akan mendapat balasannya. 

Narima ing pandum : menerima (ridha) akan takdir pemberian Tuhan. 

Ngadu wuleting kulit, atosing balung : adu kekuatan kanuragan dan kebatinan. 

Ngagar metu kawul : menghasut orang supaya terjadi perselisihan. 

Ngalasake negara : tidak patuh pada perintah (aturan) negara. 

Ngalem legining gula : memuji kelebihan, kepandaian, atau kekayaan seseorang. 

Ngantuk nemu gethuk : tidak bekerja tapi mendapat keberuntungan. 

Ngebun-ebun enjang anjejawah sonten : melamar untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. 

Ngelekake wong picak : memberi pengertian pada orang yang belum berpengalaman. 

Ngemping lara nggenjah pati : sengaja mencari masalah. 

Ngenteni timbale watu item (ngenteni kereme prahu gabus) : menanti barang yang tidak bakal kesampaian. 

Ngetutake kidang lumayu : memberi tahu pengertian yang sulit dipahami. 

Nggedhekake puluk : orang yang hanya menuruti nafsu makannya. 

Nggilut kawruh : mencari ilmu dengan mengerahkan segala kekuatan. 

Ngingu satru ngelelemu mungsuh : punya musuh di dalam keluarga (seperti musuh dalam selimut). 

Nglungguhi klasa gumelar : tinggal dapat enaknya tanpa ikut bersusah payah. 

Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake : menang tanpa prajurit, unggul tanpa mengalahkan.

Ngontrakake gunung : orang rendahan bisa mengalahkan orang berkuasa hingga membuat kaget banyak orang. 

Ngrusak pager ayu : merusak atau mengganggu istri orang lain. 

Nguthik-uthik macan dhedhe : membuat orang marah/ memancing kemarahan orang lain. 

Nguyahi segara : memberi pada orang kaya/ tidak ada manfaatnya. 

Nir daya nir wikara : kehilangan kesadaran batin, kewaspadaan dan kekuatan. 

Nrajang grumbul ana macane : seorang wanita pasrah jiwa raganya pada orang yang sudah beristri. 

Nucuk ngiberake : sudah diberi suguhan, pulangnya membawa oleh-oleh. 

Numbak tambuh, nambong laku : orang yang tahu suatu kejadian, tapi pura-pura tidak tahu. 

Nututi layangan pedhot : mencari barang yang sudah hilang. 

Nyangoni kawula minggat : memperbaiki barang yang sudah terlanjur rusak.

Nyolong pethek : meleset dari perkiraan. 

Nyunggi lumpang kentheng : naik derajatnya tapi tidak mau mengeluarkan.