Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan

Senin, 18 Mei 2020

Kumpulan Paribasan Jawa dan Maknanya (A - I)



Seperti halnya istilah peribahasa dalam bahasa Indonesia, paribasa Jawa bisa dipahami sebagai pepatah yang mengandung aturan-aturan berperilaku, prinsip, atau nasihat tentang kehidupan ala orang jawa. Paribasa jawa dibentuk dan diciptakan dengan satu ikatan bahasa yang padat, lugas dan jelas sehingga mudah dipahami maksudnya. Gaya penyampaiannya ada yang dilakukan secara lugas, menggunakan perbandingan, dan ada pula yang menggunakan perumpamaan.

orang jawa peribahasa

Sebagai salah satu kekayaan sastra budaya masyarakat jawa, banyak pesan-pesan bijak dan nilai-nilai positif di dalam paribasa jawa yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Meski susunan kalimatnya sedikit ringkas dan mudah dihafalkan, namun kandungan maknanya yang mendalam membuatnya tetap terjaga dengan baik, dituturkan secara turun temurun, dan masih kental dalam kehidupan masyarakat Jawa. 

Berikut ini kami sajikan kumpulan paribasa jawa beserta maksudnya yang kami nukil dan terjemahkan dari buku Kabeh Bisa Basa Jawa karya Dr. H. C. Sudi Yatmana dkk. Semoga ada manfaatnya. 


A

Adigang, adigung, adiguna : mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaiannya.

Ana catur mungkur : tidak mau mendengarkan atau menghindari pembicaraan yang tidak baik.

Ana daulate ora ana begjane : hampir saja mendapat keberuntungan tapi tidak jadi.

Ana gula ana semut : tempat yang banyak rezekinya pasti banyak orang mengerubunginya.

Anak polah bapak kepradah : orang tua ikut kena getahnya akibat tingkah polah anak.

Ancik-ancik pucuking eri : selalu tidak tenang (khawatir, was-was) jika telah berbuat salah.

Anggenthong umos : orang yang tidak bisa menyimpan rahasia.

Angon mangsa : cari waktu yang baik. 

Arep jamure emoh watange : mau enaknya, tidak mau bersusah payah. 

Asu rebutan balung : berebut suatu barang yang sepele (remeh). 

Asu belang kalung wang : orang rendahan (kalangan bawah) tetapi kaya. 

Asu gedhe menang kerahe : orang berpangkat tinggi mesti lebih besar kuasanya. 

Asu marani gepuk : sengaja mendatangi bahaya. 

Ati bengkong oleh oncong : punya niat tapi tidak punya jalannya. 

B

Baladewa ilang gapete : hilang keluhuran (kekuasaan) nya

Banyu pinerang ora bakal pedhot : Perselisihan antar-saudara tidak akan menghilangkan hubungan saudara itu sendiri.

Bathang lelaku : bepergian jauh sendirian melewati jalan yang berbahaya. 

Bathok bolu isi madu : orang kalangan bawah tetapi kaya akan ilmu (pandai). 

Bebek mungsuh mliwis : orang pandai lawannya adalah orang pandai juga. 

Becik ketitik ala ketara : perbuatan baik dan buruk seseorang bakal kelihatan pada akhirnya. 

Belo melu seton : hanya ikut-ikutan saja, tanpa tahu maksudnya. 

Beras wutah arang mulih marang takere : suatu barang yang sudah rusak jarang bisa pulih kembali seperti sedia kala. 

Bidhung (mbidhung) apirowang : pura-pura menolong, tapi sebetulnya justru membuat rusuh. 

Balilu tan pinter durung nglakoni : orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal, meskipun sering menjalaninya, masih kalah pandai dengan orang yang memiliki pengetahuan, meski tidak pernah menjalaninya.

Blaba wuda : karena saking dermawannya sampai-sampai hidupnya sendiri kesulitan. 

Blubuk oleh leng : punya niat tidak punya jalannya. 

Buru (mburu) uceng kelangan deleg : memburu barang remeh malah kehilangan barang berharga. 

Busuk ketekuk, pinter kablinger : orang pintar dan orang bodoh sama-sama apes. 

Buwang (mbuwang) tilas : menutupi kesalahannya dengan pura-pura tidak tahu perbuatan buruk yang dilakukannya. 

C

Car cor kurang janganan : bicara asal ceplas ceplos tanpa dipikir terlebih dulu. 

Cathok gawel : suka ikut campur padahal tidak diajak rembugan. 

Cebol nggayuh lintang : punya harapan yang mustahil bisa terlaksana. 

Cecak nguntal empyak : memiliki ambisi yang tidak seimbang dengan kekuatannya. 

Cedhak celeng boloten : berteman dekat dengan orang jahat bisa ikut ketularan berbuat jahat. 

Cedhak karo kebo gupak : dekat orang berbuat jahat bisa ketularan jahat. 

Cincing-cincing meksa klebus : tujuannya hendak berhemat, tapi akhirnya malah habis banyak. 

Ciri wanci lelahe ginawa mati : kebiasaan buruk yang tidak bisa hilang. 

Criwis cawis : banyak omong tetapi juga mampu bekerja dengan benar. 

Cuplak andheng-andheng, ora prenah panggonanane : orang atau barang yang bisa menyebabkan berbuat jelek sebaiknya disingkirkan. 

D

Dadia suket suthik nyenggut : tidak mau bertegur sapa karena saking jengkelnya menerima perlakuan buruk (menyakitkan) dari orang lain.

Dadi cuplak andheng-andheng : orang menjadi beban negara sebab kelakuannya. 

Dalan gawat becik disingkiri : orang yang sulit diajak negosiasi lebih baik tinggalkan saja. 

Derman golek momongan : sudah punya pekerjaan tetap tapi masih cari sampingan. 

Desa mawa cara, Negara mawa tata : setiap tempat punya cara dan aturan masing-masing. 

Dhalang kerubuhan panggung : suatu hal buruk dikatakan baik. 

Dhandhang diunekake kuntul, kuntul dionekake dhandhang : buruk dikatakan baik, dan baik dikatakan buruk. 

Dhemit ora ndulit, setan ora doyan : selalu diberi keselamatan, tidak ada yang mengganggu. 

Dicuthatake kaya cacing : diusir dengan paksa. 

Dijuju kaya manuk : orang yang dicukupi semua kebutuhannya. 

Diwenehi ati ngrogoh ampela : sudah diberi malah minta lebih banyak. 

Dolanan ula mandi : orang yang sengaja mencari perkara. 

Dom sumurup ing banyu : mencari tahu rahasia orang lain dengan pura-pura menjadi temannya. 

Dudu berase ditempurake : menanggapi suatu percakapan tapi tidak sesuai temanya. 

Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan : meskipun orang lain (tidak ada hubungan darah), kalau mendapat kesusahan tetap akan dibantu. 

Duk sandhing geni : pergaulan pria dan wanita yang tidak ada batasnya. 

Durjana mati raga : durjana atau penjahat yang nekat berani mati.

Durniti karetna hadi : orang yang punya ilmu tapi tidak mau mengamalkan. 

Durung acundhuk acandhak : belum tahu duduk permasalahan tapi ikut cawe-cawe. 

Durung bisa ngaku becus : belum bisa mengaku bisa atau bodoh mengaku pintar. 

Durung ilang pupuk lempuyange : dianggap anak kecil, tidak ada faedahnya. 

Durung pecus keselak besus : belum cukup mampu sudah kepingin yang tidak-tidak. 

E

Emban cindhe emban siladan : pilih kasih, tidak adil, satu dan lainnya tidak sama bagiannya. 

Embat-embat celarat : bekerja dengan sangat hati-hati. 

Emprit abuntut bedhug : perkara remeh menjadi besar. 

Endhas gundul dikepeti : hidup sudah enak masih mendapat keberuntungan. 

Endhas pethak ketiban empyak : mendapat kesulitan bergonta-ganti.

Enggon welut didoli udhet : orang pandai dipameri kepandaian yang tidak seberapa, atau orang sedikit tahu pamer kepandaian kepada orang yang lebih tahu. 

Entek golek kurang amek : memarahi orang sampai sebegitunya. 

Entek jarake : habis kekayaannya.

Entheng tangane : ringan tangan atau senang membantu. 

Esuk dhele sore tempe : pendirian mudah berubah (goyah), tidak konsisten. 

Esuk-esuk nemu gethuk : datangnya rizki yang tidak terduga.

G

Gagak nganggo laring merak : orang kalangan bawah perilakunya seperti orang berkuasa. 

Gajah alingan suket teki : lahir dan batin yang sangat berbeda pasti akan ketahuan. 

Gajah marani wantilan : orang yang sengaja mencari perkara (masalah). 

Gajah ngidak rapah : orang yang menerjang larangannya sendiri. 

Gajah tumbuk, kancil mati tengah : orang berkuasa bertengkar dengan sesama orang berkuasa, orang kecil yang mendapat sengsara. 

Gambret singgang merkatak, ora ana sing ngundhuh : wanita yang punya banyak teman. 

Garang-garing : bicara seakan-akan orang kaya, tapi sebetulnya hidup kesulitan. 

Gawe buwana balik : nasib orang itu tidak tetap (bisa berubah). 

Gawe luwangan, ngurugi luwangan : mencari hutangan hanya untuk membayar hutang lainnya. 

Gedhang apupus cindhe : keadaan yang tidak bakal kesampaian. 

Gedhe dhuwur ora pangur : orang yang tidak tahu sopan-santun (tatakrama). 

Gedhe endhase : orang berwatak sombong. 

Geguyon dadi tangisan : kejadian menyenangkan berubah menjadi kejadian menyedihkan. 

Giri lusi, janma tan kena ingina : jangan sok menghina orang lain. 

Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh : meskipun pelan-pelan, tapi terlaksana maksudnya. 

Glundung suling : seorang pria kok tidak membawa harta ketika memulai hubungan dengan seorang wanita. 

Golek banyu bening : mencari pitutur yang baik. 

Golek-golek ketanggor wong luru-luru : maksud hati ingin mencari hutangan malah dimintai hutang. 

Golek karo epek-epek : ingin berdagang (usaha) tapi tidak punya sarananya (modal). 

Gondhelan poncoting tapih : seorang pria yang dikuasai istrinya. 

Greget-greget suruh : ingin marah, tapi tidak sampai hati. 

Gupak pulute ora mangan nangkane : ikut bersusah payah, tapi tidak ikut merasakan enaknya. 

I

Idhep-idhep nandur pari jero : berbuat baik tapi mengharapkan balasannya.

Idu didilat maneh : menarik pembicaraan (janji) yang sudah terlontarkan. 

Ilang jarake, kari jahile : hilang kepribadian buruk, tinggal kepribadian yang baik. 

Ilo-ilo ujaring wong tuwo : menjalankan petuah dari orang tua akan sering mendapat keberuntungan karena orang tua lebih berpengalaman. 

Iwak kalebu ing wuwu : mudah dibohongi.


Selasa, 12 Mei 2020

Sekilas Tentang Sekaten dan Macam-Macam Grebeg

Adanya upacara-upacara adat yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama atau pun kepercayaan mereka. Upacara-upacara tersebut merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib agar senantiasa diberikan kesejahteraan serta dijauhkan dari berbagai malapetaka dan bencana. 

Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, upacara-upacara adat yang meliputi hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki arti penting sehingga selalu rutin diselenggarakan. Upacara tersebut digelar sebagai pertanda kebesaran kerajaan sekaligus juga sebagai alat pemersatu untuk wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat. 

Sejak zaman kerajaan Majapahit, sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari-hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Bahkan setelah masuknya agama dan kebudayaan Islam, upacara-upacara tersebut juga masih dilestarikan, hanya saja kemudian diwarnai dengan unsur-unsur islami. 

Sekaten

Salah satu di antara perayaan upacara adat yang masih dilestarikan keberadaannya hingga kini adalah "Sekaten". Upacara sekaten pada mulanya merupakan upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari kerajaan Majapahit akhir. Setelah masuknya agama Islam, upacara tersebut kemudian diubah menjadi upacara "Sekaten" oleh Sunan Kalijaga pada masa kekuasaan Kerajaan Demak. 

Sebelum diberi unsur Islam, Nama Sekaten sendiri merupakan penyesuaian makna dari nama "Jimat Kalimasada" yang berarti "Kali-Maha-Usaha" (obat mujarab dari Dewi Kali). Pada zaman Islam, Kalimasada mendapat makna baru yaitu "Kalimat Syahadat". Oleh karena itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para Wali kemudian diubah menjadi Syahadatain (Sekaten). 

Syahadatain berarti dua kalimat Syahadat, yang mana merupakan asas dan dasar dari lima rukun Islam, juga sebagai ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Kalimat pertama merupakan syahadah at-tauhid, sedangkan kalimat kedua merupakan syahadah ar-rasul. Kedua kalimat tersebut dalam syariat Islam merupakan sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Tuhan (Allah) dan Muhammad sebagai rasulNya.

grebeg mulud sekaten
pic. via travelisme.com

Upacara Sekaten pada masa Islam kemudian dirayakan dengan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja terbesar Mataram. Bahkan sampai sekarang, upacara tersebut tetap diselenggarakan setiap tahunnya di Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam. Rangkaian perayaan Sekaten biasanya berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah).

Beberapa acara penting pada saat perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung. Puncaknya, sebagai bentuk syukur pihak istana dikeluarkan sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat. Perayaan ini dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut "Sekatenan") yang berlangsung selama sekitar 40 hari dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).

Macam-macam Perayaan Grebeg

Sultan Agung, Sang Raja Mataram memang dikenal akan banyak peranannya dalam pengembangan kebudayaan di jawa. Sultan Agung senantiasa berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Pada perayaan hari-hari besar keagamaan, Sultan Agung juga mengembangkan rintisan para Wali dengan mengagendakan perayaan Grebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, dikenal adanya 3 macam Grebeg, yaitu:

  1. Grebeg Pasa/Syawal, yaitu perayaan untuk menghormati bulan suci Ramadhan dan malam Lailatul Qadar yang diadakan setelah berakhirnya kewajiban puasa, yakni pada hari raya Idul Fitri. Grebeg Pasa/ Syawal juga dapat dimaknai untuk menandai kemenangan bagi umat muslim setelah berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
  2. Grebeg Besar, yaitu perayaan hari raya Idul Adha yang jatuh pada bulan Zulhijah, atau biasa disebut "Besar" pada penanggalan Jawa. Pada perayaan ini, Sultan menyerahkan sejumlah hewan untuk dijadikan kurban. Selain prosesi ibadah kurban, perayaan ini juga merupakan peringatan puncak ibadah Haji yang dilaksanakan umat Islam di tanah Suci. 
  3. Grebeg Maulud, yaitu perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Mulud (Rabiulawal). Tujuannya yaitu untuk memetik suri tauladan dari kehidupan Rasullulah SAW. Tradisi ini kabarnya sudah dimulai sejak zaman Kesultanan Demak dan masih dilestarikan hingga kini dengan adanya perayaan Sekaten.

Itulah sekilas mengenai Sekaten dan berbagai perayaan Grebeg bagi masyarakat Jawa. Dapat dipahami bahwa upacara-upacara tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan jawa dengan nilai-nilai Islam, sehingga keberadaannya memang patut untuk dilestarikan. Demikian. Semoga bermanfaat. 

Minggu, 26 April 2020

Legenda Ajisaka, Tahun Saka, dan Asal Mula Aksara Jawa (Hanacaraka)


Aksara Jawa (hanacaraka) merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung filosofi, simbol dan kaya akan nilai-nilai luhur dari peradaban masa lalu negeri ini. Namun sayangnya di zaman modern ini, penggunaannya hanya simbolis digunakan untuk melestarikan keberadaannya saja. Itu pun dalam lingkup kecil, seperti di bangku-bangku sekolahan atau lembaga-lembaga kedaerahan tertentu. Padahal sebagai jatidiri atau identitas asli negeri ini, mestinya aksara Jawa atau Carakan ini dapat bersanding dengan aksara-aksara dari negara lain seperti aksara Arab, China, Thailand, Jepang, dan lain-lain. 

Legenda Ajisaka

Sebagai orang Jawa, pernahkah terbesit dalam benak anda sejak kapan aksara tersebut mulai digunakan?. 

Kalangan sejarawan ada yang berpendapat bahwa penggunaan abjad (aksara) di Jawa sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 78 M. Hal ini ditandai dengan datangnya salah satu tokoh legendaris tanah Jawa yang bernama Ajisaka. Beberapa literatur menyebutkan bahwa Ajisaka berasal dari Bumi Majeti, sebuah negeri antah-berantah mitologis. Legenda ini juga melambangkan akan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa pada masa itu. 

Ada yang menafsirkan bahwa Ajisaka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Ajisaka (Raja Shaka). Namun ada juga beberapa kalangan sejarawan yang menghubungkan nama Ajisaka dengan nama Prabu Iwaksa dari kerajaan Surati di India. Ajisaka yang saat itu kalah dalam perang kemudian terusir dari negerinya dan akhirnya sampai di tanah Jawa. 

Di Jawa, ia kemudian menyebarkan perhitungan tarikh (kalender) yang dinamakan tahun Saka. Tahun Saka adalah penanggalan lunisolar (suryacandra) yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya.

Perhitungan tahun Saka dimulai sejak kedatangan Ajisaka yaitu tahun 1 Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi. Selain memperkenalkan tahun Saka, Ajisaka juga menyebarkan pengetahuan membaca dan menulis sebagai dasar pengembangan kebudayaan. Memang pada periode itu belum ditemukan peninggalan tertulis berdasarkan bukti sejarah yang ada. Prasasti tertua yang menggunakan huruf Jawa Kuno adalah prasasti Dinoyo dari kerajaan Kanjuruhan (Malang) berasal dari tahun 682 Saka atau tahun 760 Masehi. 

Meski begitu, beberapa ahli memiliki kesimpulan yang hampir sama, bahwa legenda Ajisaka ini memiliki hubungan dengan penggunaan Kalender Saka yang digunakan di Jawa sebelum diperkenalkannya Kalender Islam dan Kalender Jawa oleh Sultan Agung pada tahun 1633 M. 

Selain penggunaan Kalender Saka, datangnya Ajisaka ke tanah Jawa juga dikaitkan dengan diperkenalkannya aksara Jawa hingga kemudian menjadi salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura. 

Adapun mengenai asal mula terciptanya aksara Jawa, berikut kisahnya:

Ajisaka merupakan nama samaran dari Empu Sengkala, seorang pemuda Hindustan yang datang ke tanah Jawa untuk menyelamatkan rakyat Jawa (Medang Kamulan) dari kekejaman rajanya, Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan memakan daging manusia. Dengan kecerdikan dan kesaktiannya, Ajisaka pun berhasil mengalahkan Dewata Cengkar. Atas jasanya itu, ia kemudian dinobatkan sebagai Raja di Medang Kamulan. 

Ajisaka memiliki dua orang pengawal setia bernama Dora dan Sembada. Keduanya kakak beradik namun memiliki tabiat berbeda. Sembada memiliki sifat jujur, sedangkan Dora memiliki sifat sering berbohong. Sebelum pergi menolong rakyat Medang Kamulan, Ajisaka meninggalkan keris pusaka di pertapaannya dan menyuruh Sembada untuk menungguinya. Ajisaka berpesan bahwa tidak ada satupun orang yang boleh mengambil keris itu kecuali dirinya.

Setelah menjadi Raja Medang Kamulan, Ajisaka mengutus Dora yang bersamanya untuk mengambil keris yang ditinggal di padepokannya, sambil berpesan agar jangan kembali kepadanya tanpa membawa keris tersebut. Mengingat pesan gurunya, Sembada menolak memberikan keris itu kepada Dora walaupun ia telah mengatakan bahwa ia disuruh gurunya. Keduanya bersitegang dan berakhir dengan pertarungan.

Dora sembada

Karena keduanya memiliki kesaktian yang hampir sama, maka keduanya sama-sama mati terbunuh dalam perkelahian itu. Ajisaka yang kemudian menyusul menemukan mayat kedua pengawalnya itu. Di depan mayat kedua murid sekaligus pengawalnya itu, Ajisaka mengucapkan, "hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga", yang artinya abdi-abdi yang setia, terlibat dalam perkelahian, sama-sama kuatnya, telah menemui ajalnya. Ucapan Ajisaka itu kemudian dikenal sebagai deretan huruf Jawa.

Aksara jawa

Kamis, 23 April 2020

15 Tembang (Lagu) Dolanan Jawa Serta Liriknya


Mungkin anak-anak Jawa kekinian kurang begitu tahu akan tembang-tembang dolanan Jawa yang dulu biasa dinyanyikan saat bulan purnama. Meski liriknya ringan atau kadang cukup singkat, namun di dalamnya terkandung makna dan falsafah luhur dalam hidup. Ada yang mengatakan bahwa beberapa dari tembang-tembang dolanan ini dahulunya diciptakan oleh para Wali sebagai sarana dakwah sehingga tidak heran jika di dalamnya banyak berisi ajaran tentang pendidikan dan budi pekerti, sebagai bekal hidup antara sesama manusia dan manusia kepada Tuhannya. 

Anak lagi dolanan

Tembang Dolanan yaitu tembang (lagu) untuk anak-anak yang bertujuan menghibur hati agar senang dan terlipur hatinya, supaya berimbang antara kebutuhan lahir dan batinnya. Tembang dolanan biasa dinyanyikan sendiri atau berkelompok sambil bermain dengan diiringi suara gamelan. Karena mudah dipelajari dan nada yang menyenangkan, menyanyikan tembang dolanan juga dapat meningkatkan kreatifitas dan daya fikir anak, bahkan dapat pula meningkatkan imajinasi dan kesehatan mereka. 

Berikut ini kami sajikan beberapa tembang dolanan Jawa populer beserta liriknya untuk anda. Semoga bermanfaat. 

1. Sluku-Sluku Bathok

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.

2. Lir Ilir

Ilir-ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo taksengguh temanten anyar
Bocah angon-bocah angon penekna blimbing kui
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotiro
Dodotira-dodotira kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Ya soraka sorak hore

3. Suwe Ora Jamu

Suwe ora Jamu
Jamu godhong tela
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan
Gawe gela

Suwe ora jamu
Jamu godhong lumbu
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan tambah ayu

Suwe ora jamu
Jamu godhong meniran
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan ngajak dolanan

Suwe ora jamu
Jamu kunir asem
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan mesam mesem

Suwe ora jamu
Jamu kembang turi
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan karo suri

4. Jamuran

Jamuran ya ge-ge thok,
Jamur apa ya ge-ge thok
Jamur gajih mberjijih sak ara-ara,
Sira bage jamur apa?

Jamur apa?
Jamur gagak
Gaok gaok gaok
gaok gaok
Jamuran ya ge-ge thok
Jamur apa ya ge-ge thok
Jamur gajih mberjijih sak
ara-ara sira bage jamur apa?
Jamur apa?
Jamur kethek menek
Uwite ra ana kethek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek

5. Cublak-Cublak Suweng

Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundhung gudel
Pak empo lera-lere
Sapa ngguyu ndhelikake
Sir-sir pong dhele gosong
Sir-sir pong dhele gosong

6. Menthok-Menthok

Menthok-menthok tak kandhani
Mung lakumu angisin-isini
Mbokya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok
Ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu

7. Gundul - Gundul Pacul

Gundul-gundul pacul-cul gelelengan..
Nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan..
Wakul glimpang segane dadi saratan..
Wakul glimpang segane dadi saratan..

Ono bocah gundul ndul
Lungo menyang sawah
Nyunggi nyunggi wakul kul
Karo gemblelengan
Mlaku neng tengah ndalan
Ora wedi bebayan
Wakule ngglimpang
Dadi sak latar
Ojo nangis ndul
Mundhak tambah gundhul
Ojo nangis ndul
Mundhak tambah gundul

8. Dhondhong Apa Salak

Dhondhong apa salak
Dhuku cilik-cilik
Andhong apa mbecak
Mlaku dimik-dimik
Atik ndherek Ibu tindak menyang pasar
Ora pareng rewel ora pareng nakal
Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh
Kacang karo roti Atik dhiparingi
Dhondhong apa salak, dhuku cilik-cilik
Gendhong apa pundhak aja ngithik-ithik

Anak main jaranan
via satujam.com

9. Jaranan

Jaranan jaranan jarane jaran teji
Sing numpak ndara bei
Sing ngiring para mantri
Jeg jeg nong jeg jeg gung
Prok prok turut lurung
Gedebug krincing gedebug krincing
Prok prok gedebug jedher

Jaranan jaranan jarane jaran kepang
Sing nunggang klambi abang
Mlakune ndut endutan
Jeg jeg nong jeg jeg gung
Jarane mlebu neng lurung
Gedubug krincing
Gedubug krincing
Prok prok gedebug jedher

Jaranan jaranan jarane jaran kori
Ora ono kendhaline
Jarane mlayu dhewe
Jeg jeg nong
Jeg jeg gung
Jarane mlebu neng lurung
Gedebuk krincing
Gedebuk krincing
Prok prok gedebug jedher

10. Kodhok Ngorek

Kodhok ngorek kodhok ngorek
Ngorek pinggir kali
Theyot teblung theyot teblung
Theyot theyot teblung
Bocah pinter bocah pinter mbesuk dadi dokter
Numpak Opo Numpak Opo
Numpak Kapal Mabur
Bocah bodho bocah bodho
Njaluk Dijamoni
Jamu Opo Jamu Opo
Temulawak Pait

11. Pitik Tukung - Pitik Cilik

Aku duwe pitik, pitik tukung
saben dina, tak pakani jagung
petok gogok petok petok ngendhog siji
tak teteske, kabeh trondhol dhol dhol
tanpa wulu, megal-megol gol gol gawe guyu

Aku duwe pitik cilik, wulune brintik
Cucuk kuning, jengger abang, tarung mesti menang
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

Aku duwe pitik tukung, buntute buntung
Saben dina mangan jagung, mesti wani tarung
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

Aku duwe pitik brondol, wulune brodhol
Mung mlakune megal megol, tarung mesti nothol
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

12. Kidang Talun

Kidang Talun
mangan kacang talun
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayung

Tikus pithi
duwe anak siji
cicit cuit cicit cuit
maju perang wani mati

Kidang Talun
mangan kacang talun
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayung

Gajah belang
suko tanah mlembang
nuk legenuk nuk legenuk
gedhene meh podho gunung

13. Siji Loro Telu

Siji loro telu,
Astane sedheku,
Mirengake bu guru
Menawa didangu..

Papat nuli lima..
Lenggahe sing tata,
Ojo podho sembronoo,
Mundhak ora bisa

14. Si Ibu

Ibu nangdi lawange dikunci
Cendhelane padha ditutupi
Iki wis wayahe jam siji
Wis wayahe wetengku diisi
Kabeh yen tak takoni
Mesthi mangsuli ora weruh
Kabeh yen tak takoni
Mesthi mangsuli ora weruh

15. Padhang Bulan

Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhange kaya rina
Rembulane ngawe-awe
Ngelingake aja turu sore-sore

Kamis, 16 April 2020

Pengajaran, Pitutur, dan Nasehat dalam Tembang Macapat

Saat ini, keberadaan tembang Jawa memang kurang begitu diminati oleh para kawula muda di negeri ini. Semenjak terjadinya perubahan zaman, berkembangnya lagu-lagu pop, rock, atau dangdut justru semakin menenggelamkan keberadaan tembang Jawa, bahkan bagi masyarakat Jawa itu sendiri.

Para kawula muda lebih dekat dengan irama pop dan dangdut ketimbang senandung irama Pocung, Gambuh, Pangkur, Kinanthi, Dhandanggula, dan lainnnya. Di daerah pedesaan pun juga kini jarang terdengar para kawula muda yang mau menyanyikan macapat.

Tembang macapat 1
via jogja.tribunnews.com

Kalaupun disiarkan di televisi, penyanyi atau pembawa tembang macapat pada umumnya adalah orang-orang tua yang sudah sepuh. Suara dan iramanya berat, kadang salah, dan lemah (tidak nyaring). Memang tidak dipungkiri saat ini tembang Jawa telah terdesak oleh kemajuan zaman.

Masuknya budaya luar lewat televisi dan perkembangan era digital yang semakin pesat pun membuat sastra dan budaya Jawa menjadi semakin terpinggirkan. Irama musik barat, pop, rock, dan dangdut yang membuat badan bergoyang memang lebih populer ketimbang macapat yang halus dan ada iramanya.

Sebagian kaum muda ada yang beranggapan bahwa tembang macapat itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Musiknya kurang gaul dan bahasanya kadang sulit untuk dipahami. Meski demikian, ternyata saat ini masih bisa dikatakan bahwa tembang macapat belum hilang terlindas oleh kemajuan zaman.

Masih ada orang-orang yang mencintai dan peduli akan keberadaan tembang macapat. Tembang Jawa yang disebut sekar macapat ini masih sering dibawakan pada saat acara-acara tertentu. Pada diskursus pengajaran yang mempelajari tentang bahasa, sastra, dan budaya Jawa, tembang macapat juga masih diajarkan.

Tembang macapat juga biasa dinyanyikan di sanggar-sanggar pengajaran bahasa Jawa. Di pertunjukan orkes karawitan Jawa, penabuh gamelan dan penyanyi juga turut andil dalam ikut melestarikan tembang Jawa ini.

Perlombaan tembang macapat juga sesekali masih sering ditemui di berbagai daerah. Begitu pula di pertunjukan jagad pewayangan, Gareng dan Petruk juga sering berjoged serta membawakan tembang Pocung, Pangkur, Kinanthi, atau Gambuh.

Selain itu, macapat juga biasa dibawakan dalam acara pernikahan Jawa. Para pengisi acara biasanya ada yang nyekar (nembang) khusus ditujukan untuk pasangan pengantin. Isinya bermacam-macam terutama berupa pitutur luhur untuk calon pengantin yang akan membangun sebuah keluarga.

Tembang macapat 2
via sahabatguru.com

Menurut buku Mbombong Manah karangan R. Tedjohadisumarto, tembang Jawa terbagi menjadi 5 macam, yaitu: lagu dolanan, sekar macapat, sekar tengahan, sekar ageng, dan sekar gendhing. Disebut sekar macapat karena tembang ini dibawakan dengan maca papat-papat (membaca empat-empat), maksudnya yaitu cara membacanya terjalin tiap empat suku kata.

Dalam sejarah, sekar macapat pada mulanya diciptakan oleh Prabu Banjaransari di Sigaluh pada tahun Jawa 1191. Dulunya syair tembang macapat ditulis menggunakan bahasa Kawi yang berupa kakawin. Selanjutnya, tembang macapat bisa ditemui dalam buku-buku yang mempelajari tentang tembang dari zaman dulu hingga sekarang.
Namun ada pula pendapat yang mengatakan bahwa sekar macapat adalah karangan dari Para Wali, khususnya Walisongo (sembilan Wali Penyebar agama Islam dari tanah jawa). Maka dalam perkembangan berikutnya kemudian dijumpai pula sastra berupa suluk dan wirid.

Para Wali mencipta, menggubah, dan melakukan perubahan yang adiluhung untuk menebarkan syiar Islam lewat sarana tembang macapat. Sekar macapat pun oleh para Wali dibuat agar isinya sesuai dan cocok dengan ajaran Islam. Tidak heran, nuansa Islam memang banyak ditemukan dalam sekar (tembang) macapat.

Selanjutnya oleh para pujangga khususnya di Keraton Surakarta atau Pura Mangkunegaran, sekar macapat ditulis atau digubah kembali menjadi jumlah sangat banyak. Jika dicermati dari beberapa tembang macapat yang ada, sangat banyak pengajaran, nasehat, petuah, atau pitutur luhur dalam hal watak atau kepribadian di dalamnya.

Lebih luas lagi, isi tembang macapat juga bisa merambah dan membumbung tinggi hingga ranah "ke-Ilahi-an", pengetahuan tentang kejiwaan, ketajaman mata batin, ngelmu, laku, budi pekerti, sopan-santun, tatakrama, unggah-ungguh, dan lain-lain. Intinya, apa yang terkandung dalam sekar macapat dapat menjadi sumber pengajaran, petuah, dan pitutur, untuk membangun watak dan karakter bangsa. 

Diterjemahkan dengan semampunya dari artikel berbahasa Jawa karya Ki Sutadi Pangarsa Persatuan Pedalangan Indonesia Komisariat Jawa Tengah- Ki Demang