Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Seni Budaya. Tampilkan semua postingan

Minggu, 06 September 2020

Desa Ngaringan Gandusari Blitar

Minggu, 31 Mei 2020

Kitab-Kitab Kuno (Sastra Sejarah) dari Masa Kerajaan Hindu-Budha di Indonesia

Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar bercorak Hindu-Budha di tanah Nusantara ini, bidang kesusastraan juga mengalami kemajuan yang cukup pesat. Para pujangga pada masa itu telah berhasil menulis sejumlah kitab-kitab sastra tingkat tinggi yang keberadaannya dapat dijadikan sebagai petunjuk untuk menyingkap suatu peristiwa sejarah yang terjadi pada masa lampau. Berkembangnya kesusastraan Nusantara pada masa Hindu Budha secara umum dapat dibagi ke dalam beberapa periode, yaitu:

  1. Zaman Mataram lama (sekitar abad ke 9 dan 10)
  2. Zaman Kediri (sekitar abad ke 11 dan 12)
  3. Zaman Majapahit I (sekitar abad ke 14)
  4. Zaman Majapahit II (sekitar abad ke 15 dan 16), sebagian kesusastraan pada masa ini berkembang di Bali (zaman Kerajaan Samprangan Gelgel). 

Hasil-hasil kesusastraan pada masa-masa tersebut di atas pada umumnya ditulis dalam bentuk gancaran (prosa) dan tembang (syair). Namun sebagian besar berbentuk tembang. Tembang Jawa Kuno biasanya disebut dengan Kakawin, sedangkan tembang Jawa Tengahan disebut Kidung. 

Ditinjau dari segi isinya, kitab-kuno hasil karya sastra pada masa Hindu-Budha tersebut dapat dibagi menjadi sebagai berikut:

  • Tutur atau kitab keagamaan, seperti Sang Hyang Kamahanikam yang disusun pada masa pemerintahan Empu Sindok (Mataram lama).
  • Kitab Hukum, termasuk di dalamnya kitab-kitab sasana yang berisi peraturan-peraturan untuk golongan masyarakat tertentu. Misalnya Resisasana yang menguraikan kedudukan dan hak-hak serta kewajiban para resi. 
  • Wiracarita atau cerita kepahlawanan, seperti Ramayana dan Mahabharata. 
  • Kitab Sejarah, seperti Nagarakertagama dari zaman Majapahit. 

kitab sastra kuno
naskah lontar Negarakertagama via wikipedia

Kemungkinan ada banyak hasil-hasil kesusastraan lama yang ditulis pada masa berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Hindu-Budha di negeri ini. Namun pada saat Islam kemudian dianut oleh masyarakat Jawa, kitab-kitab sastra tersebut kurang mendapat perhatian sehingga naskah-naskah yang banyak ditulis di atas daun lontar tersebut tidak bertahan lama. Meski begitu, ada beberapa kitab-kitab sastra lama dari masa Hindu Budha yang masih bisa diketahui sampai sekarang. Berikut di antaranya:

1. Sang Hyang Kamahayanikam

Kitab ini disusun dalam bentuk prosa antara tahun 929-947 Masehi oleh Mpu Shri Sambhara Surya Warama pada masa kekuasaan Empu Sindok dari kerajaan Mataram kuno. Kitab ini menjelaskan tentang ajaran Buddha aliran Tantrayana. Kitab ini juga berisi mantra-mantra dan diagram serta mudra dalam posisi sentral sebagai bentuk formula rahasia yang bersifat mistis.

2. Arjuna Wiwaha

Kitab sastra ini ditulis oleh Empu Kanwa pada masa pemerintahan Prabu Airlangga, yang memerintah di Jawa Timur dari tahun1019 sampai dengan 1042 Masehi. Kitab ini menceritakan tentang perjuangan Sang Arjuna yang penuh tantangan dan ujian hingga kisah cintanya dengan Dewi Supraba. kitab ini juga menguraikan serangkaian pedoman atau pegangan bagi manusia dalam menjalani kehidupannya. 

3. Bharatayudha

Kitab sastra berbentuk kakawin ini digubah oleh dua orang yaitu Mpu Sedah dan Mpu Panuluh pada masa pemerintahan Raja Jayabaya (Kediri). Kitab ini menceritakan peperangan antara kaum Kurawa dan Pandawa atau biasa disebut peperangan Bharatayuddha. Kitab ini juga merupakan simbolisme dari perang saudara yang terjadi antara Kerajaan Kediri/ Panjalu dan Kerajaan Jenggala.

4. Negarakertagama

Kitab ini ditulis dalam bentuk kakawin (syair) Jawa Kuna oleh Empu Prapanca pada tahun 1365. Kitab ini menguraikan keadaan keraton Majapahit pada masa pemerintahan Prabu Hayam Wuruk (raja keempat Majapahit yang memerintah pada tahun 1350-1389), daerah kekuasaannya, kondisi keagamaan, dan sebagainya. Kitab ini mempunyai peran besar bagi penulisan sejarah Indonesia, dimana isinya banyak yang bersesuaian dengan sumber-sumber prasasti. 

5. Sutasoma 

Kitab ini ditulis oleh Empu Tantular pada abad ke 14. Isinya menceritakan tentang Sutasoma, seorang putra raja yang keluar dari istana dan memutuskan untuk menjadi seorang pendeta Budha. Isi kitab ini juga mengajarkan tentang toleransi antar umat beragama pada masa itu, terutama antar agama Hindu - Siwa dan Buddha. Selain itu, dalam kitab ini juga terdapat ungkapan "Bhineka Tunggal Ika" yang kini dijadikan sebagai motto dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

6. Pararaton

Diperkirakan kitab ini berasal dari tradisi lisan sehingga tidak ditemukan nama pengarangnya. Meski berbau dongeng yang penuh dengan kegaiban, kitab ini dimaksudkan sebagai karya sejarah, menguraikan tentang tokoh Ken Arok beserta raja-raja Singasari lainnya, kisah tentang Raden Wijaya semenjak menjadi menantu Kertanegara (Raja Singasari terakhir) sampai menjadi raja Majapahit, dan lain sebagainya. Kitab ini juga menguraikan informasi mengenai silsilah anggota keluarga kerajaan Majapahit.

7. Sundayana

Kitab ini menceritakan nasib Raja Sunda, Sri Baduga Maharaja yang datang ke Majapahit untuk mengantarkan puterinya, Dyah Pitaloka untuk dinikahkan dengan Hayam Wuruk. Akan tetapi di Bubat terjadi perselisihan dengan Gajah Mada sehingga terjadi pertumpahan darah (perang Bubat) dimana rombongan Raja Sunda ini terbunuh. 

8. Panji Wijayakrama 

Kitab ini menceritakan tentang riwayat Raden Wijaya sampai ia menjadi Raja di Majapahit. 

9. Ranggalawe

Mengisahkan tentang pemberontakan Ranggalawe dari Tuban terhadap Raja Jayanegara. 

10. Sorandaka

Mengisahkan tentang pemberontakan Sora terhadap Raja Jayanegara. 

11. Pamancangah

Mengisahkan para Dewa Agung dari Kerajaan Gelgel (Bali). 

12. Usana Jawa

Menceritakan penaklukan Bali oleh Gajah Mada dan Arya Damar. Diceritakan pula tentang penumpasan raja raksasa Maya Danawa dan pemindahan keraton Majapahit ke Gelgel. 

Rabu, 27 Mei 2020

Mengenal Suku Nias dan Mitologinya

Masing-masing suku bangsa biasanya memiliki kisah, dongeng, legenda, atau mitologi yang mengisahkan cerita masa lampau tentang asal usul mereka jauh ke belakang dimulai sejak adanya manusia pertama hingga terciptanya suatu kolektif yang dikenal sebagai masyarakat atau pun suku bangsa. Kisah-kisah tersebut diwariskan secara turun-temurun sebagai milik bersama, sebagai simbol identitas bersama, dan sebagai alat legitimasi tentang keberadaan mereka. Salah satu contohnya adalah mengenai mitos mengenai terjadinya mado-mado (semacam marga patrilineal) dari masyarakat di pulau Nias. 

lompat batu suku nias
via kaskus.co.id

Suku Nias adalah kelompok masyarakat yang hidup di Pulau Nias, terletak di sebelah barat pulau Sumatra dan secara administratif berada dalam wilayah Provinsi Sumatra Utara. Orang Nias menamakan diri mereka "Ono Niha" (Ono = anak/keturunan; Niha = manusia) dan Pulau Nias sebagai "Tanö Niha" (Tanö = tanah). Suku Nias merupakan masyarakat yang hidup dalam lingkungan adat dan kebudayaan yang masih tinggi. Hukum adat Nias secara umum disebut fondrakö yang mengatur segala segi kehidupan mulai dari kelahiran sampai kematian. 

Berdasarkan penelitian Arkeologi, keberadaan penghuni (manusia) di pulau Nias diperkirakan sudah ada sejak 12.000 tahun silam. Hasil penelitian menunjukan bahwa mereka bermigrasi dari daratan Asia ke Pulau Nias pada masa paleolitik, bahkan ada indikasi sejak 30.000 tahun lampau menurut  Prof. Harry Truman Simanjuntak dari Puslitbang Arkeologi Nasional dan LIPI Jakarta. Pada masa itu, hanya budaya Hoabinh, Vietnam, yang sama dengan budaya yang ada di Pulau Nias, sehingga diduga kalau asal-usul Suku Nias berasal dari daratan Asia di sebuah daerah yang kini menjadi negara disebut Vietnam. 

Sementara penelitian genetika terbaru menemukan bahwa masyarakat Nias berasal dari rumpun bangsa Austronesia, yang diperkirakan datang dari Taiwan melalui jalur Filipina 4.000-5.000 tahun lalu. Hasil penelitian juga menyebutkan bahwa kromosom-Y dan mitokondria-DNA orang Nias sangat mirip dengan masyarakat Taiwan dan Filipina. Masyarakat Nias kuno hidup dalam budaya megalitik dibuktikan oleh peninggalan sejarah berupa ukiran pada batu-batu besar yang masih ditemukan di wilayah pedalaman pulau ini sampai sekarang. 

Mitologi Asal Usul Suku Nias

Menurut mitologi Nias, alam serta seluruh isinya diciptakan oleh Lowalangi. Langit yang diciptakannya berlapis sembilan. Setelah selesai mencipta langit, ia menciptakan satu pohon kehidupan yang disebut tora'a. Pohon itu kemudian berbuah dua dan harus dierami supaya menetas. Setelah dierami oleh seekor laba-laba yang merupakan jelmaan Lowalangi, menetaslah sepasang dewa pertama di alam semesta ini, yaitu Tuhamora'aangi Tuhamoraana'a yang berjenis kelamin laki-laki dan Burutiraoangi Burutiraoana'a yang berjenis kelamin perempuan. 

Salah satu keturunan sepasang dewa pertama itu bernama Sirao. Sirao kemudian menjadi raja langit lapisan pertama yang terletak paling dekat dengan bumi. Langit lapisan pertama ini disebut teteholi ana'a. Sirao mempunyai tiga orang istri dan dari mereka masing-masing menurunkan tiga orang anak laki-laki. Pada saat Sirao berusia lanjut dan hendak mengundurkan diri dari pemerintahan, timbul pertentangan di antara kesembilan putranya untuk memperebutkan singgasana. Untuk mencegah pertentangan itu, Sirao kemudian mengadakan sayembara ketangkasan menari di atas sembilan mata tombak.

Sayembara itu ternyata kemudian dimenangkan oleh putra bungsunya yang bernama Luo Mewona. Kebetulan juga putra bungsunya ini adalah putra yang paling dikasihi dan dihormati oleh rakyatnya. Hal itu disebabkan ia memiliki sifat rendah hati walaupun ia seorang yang gagah perkasa dan sangat bijaksana. Oleh karena itu, ia segera dikukuhkan sebagai dipertuan di teteholi ana'a menggantikan ayahnya. Untuk menentramkan kedelapan putranya yang lain, Sirao mengabulkan permohonan mereka untuk dinidadakan (diturunkan) ke tano niha atau tanah manusia, yang merupakan nama asli dari Pulau Nias. (diolah dari berbagai sumber

Rabu, 20 Mei 2020

Kumpulan Paribasan (Peribahasa) Jawa dan Maknanya (O - Y)

Dalam berbagai kebudayaan, peribahasa memainkan peranan penting dalam kehidupan masyarakat. Peribahasa biasa digunakan untuk menyampaikan pesan, nasehat, sindiran, dan teguran kepada orang lain lewat bahasa yang lumrah digunakan oleh masyarakat tersebut. Peribahasa juga biasa digunakan untuk memberikan teguran atau mengingatkan orang lain akan kesalahannya dengan susunan kata atau kalimat yang tidak menyinggung atau melukai perasaannya. 

orang jawa

Artikel berikut ini merupakan bagian terakhir dari trilogi kumpulan paribasan Jawa dan Maknanya. Untuk anda yang belum membaca 2 bagian sebelumnya, silahkan bisa anda baca lewat link berikut ini:




O

Obah mamah : asal mau bekerja, rezeki pasti bakal datang. 

Obah ngarep kobet mburi : lebih baik bersusah payah dulu, karena nantinya akan hidup enak.

Opor bebek mentas awake dhewek : lolos dari kesulitan yang dibuatnya sendiri. 

Ora ana banyu mili mendhuwur : watak anak pasti biasanya meniru watak orang tuanya. 

Ora ana kukus tanpa geni : kalau ada berita pasti ada kejadian (tidak ada akibat tanpa sebab). 

Ora ana tekan wedi ing jeglogan : tidak ada orang yang senang mengumbar nafsunya takut pada bahaya. 

Ora ganja ora unus : buruk rupanya, juga buruk hatinya. 

Ora kena diampu-ampu : orang yang tidak bisa dipaksa siapa pun. 

Ora mambu enthong irus : bukan saudara, bukan kerabat (tidak memiliki hubungan sama sekali).

Ora tedheng aling-aling : orang jujur tidak takut pada orang lain. 

Ora tembung ora lawung : mengambil tanpa minta izin dulu. 

Ora uwur ora sembur : tidak mau ikut rembuk atau memberi bantuan sedikitpun. 

Ora weruh marang kenthang kimpule : tidak tahu awal mula kejadiannya. 

Othak athik didudut angel : katanya seolah mudah, setelah diseriusi ternyata sulit. 

P

Padu jiwa dikanthongi : pintar omongan. 

Palang mangan tandur : diberi kepercayaan tetapi malah disalahgunakan. 

Pandengan karo srengenge : bermusuhan dengan orang berkuasa. 

Pecruk tunggu bara : diberi mandat yang menjadi kesukaannya. 

Peking abuntut merak : perkara sepele menjadi besar. 

Pitik trondhol diumbar ing padaringan : orang jahat diberi kepercayaan menjaga barang berharga. 

Punjul ing apapak : orang yang memiliki kemampuan lebih dari rata-rata. 

Pupur sadurunge benjut : berhati-hati sebelum mendapat celaka. 

Pupur sawise benjut : berhati-hati setelah terlanjur terjadi. 

R

Raga tanpa mule : orang yang diuji oleh orang lain. 

Rampek-rampek kethek : mendekat hanya untuk membuat kerugian (onar). 

Rawe-rawe rantas, malang-malang putung : semua yang menghalang-halangi disingkirkan. 

Rebut balung tanpa isi (rebut kemiri kobong) : Perselisihan akibat perkara sepele.

Renggang gula, kumepyur pulut : berteman dekat. 

Rindhik asu digitik : diberi tugas pekerjaan yang sesuai dengan keinginannya. 

Rukun agawe santosa, crah agawe bubrah : kerukunan menjadikan hidup sentosa, sedangkan pertikaian menjadikan kerusakan. 

Rumangsa bisa nanging ora bisa rumangsa : merasa pintar tanpa berkaca pada diri sendiri. 

S

Sabegja-begjane kang lali, luwih begja wong sing tansah eling lan waspada : seberuntungnya orang lupa lebih beruntung orang yang selalu ingat dan waspada (berhati-hati). 

Sadawa-dawane lurung, isih dawa gulung : kenyataan yang ditutupi, pada suatu saat bakal terkuak dan tersebar. 

Sadulur sinawa wedi : persaudaraan atau pertemanan dekat. 

Sadumuk bathuk sanyari bumi : perselisihan sampai nyawa taruhannya (dipertahankan sampai mati). 

Sanadyan padhang mripate, nanging peteng atine : kelihatan senang padahal dirundung kesedihan. 

Sandhing kebo gupak : berdekatan dengan orang jahat bisa ketularan jahat. 

Sandhing kirik gudhiken : bergaul dengan orang jahat bisa ketularan menjadi jahat. 

Sapa nandur ngundhuh : siapa suka menanam hal baik maka akan mendapatkan hasil baik. 

Sapa sing salah bakal seleh : siapa yang salah bakal ketahuan. 

Sepi ing pamrih, rame ing gawe : melakukan pekerjaan tanpa pamrih.
 
Satru munggwing cengklakan : musuh dalam ketiak (musuh yang masih bersaudara).

Sedhakep ngawe-awe : sudah berhenti berbuat jahat, tapi masih ingin mengulanginya lagi. 

Sembur-sembur adas, siram-siram bayem : bisa terlaksana berkat doa orang banyak. 

Sima bangga tanpa sarana : mengamuk tanpa sebab yang jelas. 

Singidan nemu macan : bersembunyi tapi malah ketahuan atasannya. 

Sumur lumaku tinimba : menawarkan ilmu supaya dicari dan dipelajari (ibarat guru mencari murid). 

T

Tan milik tan nampik : tidak kepingin dan tidak menampik. 

Tebu tuwuh socane : hal baik menjadi rusak karena ada yang mengacau. 

Tengu ngadu gajah : orang kecil mengadu orang berkuasa. 

Tekek mati ing ulane : mendapat celaka akibat perkataannya sendiri. 

Tembang rawat-rawat, ujare bakul sinambewara : kabar yang belum pasti benar salahnya. 

Thathit ngima uthit : penguasa yang suka pamer kekuasaannya. 

Tigan kapit ing sela : orang yang tidak berdaya malah digencet orang berkuasa.

Timun jinara : perkara yang sangat mudah. 

Timun wungkuk jaga imbuh : hanya dibuat dijaga-jaga kalau kurang. 

Tinggal glanggang acolong playu : lari dari peperangan. 

Tumbak cucukan : orang yang suka mengadu domba. 

Tulung (nulung) menthung : kelihatannya menolong tapi sesungguhnya membuat celaka. Atau versi lain 'ditulung menthung' : sudah ditolong malah dibalas membuat celaka. 

Tumbu oleh tutup : pertemanan yang cocok sekali. 

Tuna sathak bathi sanak : rugi harta tapi untung dalam persaudaraan. 

Tunggak jarak mrajak, tunggak jati mati : keturunan orang besar (berkuasa) menjadi orang kecil (bawah), sebaliknya keturunan orang besar menjadi orang kecil. 

Tunggal banyu : tunggal (satu) ilmu tunggal (satu) guru/seperguruan. 

Tut Wuri Handayani : memberi kelonggaran, tapi juga memberi dorongan dan arahan baik. 

U

Ula marani gebug : sengaja mendatangi bahaya. 

Ulat madhep ati karep : sudah mantap niatnya. 

Undhaking pawarta, sudaning kiriman : suatu kabar berita ternyata berbeda dengan kenyataannya. 

Ungak-ungak pager arang : kelakuan yang memalukan.. 

Urip ing alam donya kaya wong mampir ngombe : hidup di dunia hanya sebentar. 

Uyah kecemplung segara : orang melarat memberi sumbangan kepada orang kaya. 

 
W

Wani ngalah dhuwur wekasane : berani mengalah pada akhirnya akan mendapat kuasa. 

Wedi wewayangane dhewe : merasa takut karena pernah berbuat tidak baik. 

Welas tanpa alis : merasa kasihan pada orang yang menjadikan sengsaranya. 

Wis kebak sundukane : banyak sekali kesalahannya.

Wiwit kuncung nganti gelung : dari kecil hingga tua. 

Wong pinter keblinger : meski pintar tapi kalah karena tidak hati-hati. 

Y

Yitna yuwana lena kena : yang berhati-hati akan mendapat selamat, yang sembrono akan mendapat celaka. 

Yiyidan munggwing rampadan : orang jahat berubah menjadi orang alim/baik. 

Yoga anyangga yogi : murid menirukan ajaran dari gurunya. 

Yuwana mati lena : orang baik mendapat celaka karena kurang hati-hati. 

Yuyu rumpung mbarong ronge : rumahnya besar tapi sebetulnya miskin. 

Itulah kumpulan peribahasa atau paribasan jawa yang kami urutkan kalimatnya dari huruf abjad A hingga Y. Tentunya ada banyak pengajaran yang dapat diambil dari peribahasa-peribahasa di atas. Semoga bermanfaat. 

Selasa, 19 Mei 2020

Kumpulan Peribahasa Jawa dan Maknanya (J - N)


Merupakan kelanjutan dari artikel sebelumnya (baca: Kumpulan Paribasan Jawa dan Maknanya (A - I)), pada artikel kali ini akan kami lanjutkan uraian mengenai kumpulan peribahasa Jawa yang sarat akan aturan-aturan berperilaku, prinsip, atau nasihat tentang kehidupan ala orang jawa. Harapannya, semoga kita dapat mengambil pesan-pesan bijak dan nilai-nilai positif di dalamnya sebagai pelajaran dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Semoga bermanfaat. 


J

Jagakake (njagagake) endhoge si blorok : mengandalkan hal-hal yang belum pasti atau belum jelas kapan datangnya. 

Jajah (njajah) desa milang kori : menjelajah/ bepergian ke mana-mana (berbagai daerah). 

Jalma angkara mati murka : mendapatkan celaka lantaran akibat angkara murkanya sendiri. 

Jalma limpat seprapat tamat : cerdas dan terampil akan dapat menyelesaikan masalah. 

Jalukan ora wewehan : senang meminta tapi tidak mau memberi. 

Jangkrik mambu kili : gampang marah dan kurang perhitungan. 

Janma tan kena kinaya ngapa : manusia tidak bisa dikira atau diterka. 

Jaman iku owah gingsir : zaman itu akan berubah, silih berganti.

Jamur tuwuh ing sela : kejadian yang entah kapan kesampaiannya. 

Jarit luwas ing sampiran : mempunyai kepandaian tapi tidak digunakan. 

Jati ketlusuban luyung : kumpulan orang baik yang kemasukan orang jahat. 

Jer basuki mawa beya : terwujudnya cita-cita atau harapan itu membutuhkan dana (biaya). 

Jujul (njujul) wuwul : perkara yang menambah masalah menjadi semakin sulit. 

Junjung (njunjung) ngentebake : pujian yang bermaksud untuk menghinakan/ menjatuhkan. 

Jurang grawah ora mili : orang yang suka mengiyakan pekerjaan tapi tidak pernah dikerjakan. 

K

Kacang ora ninggal lanjaran : anak biasanya akan meniru kebiasaan orang tuanya. 

Kadang konang : mengaku saudara hanya pada yang kaya saja. 

Kadang tunggal welat : saudara seayah seibu. 

Kaedusan banyu sesiwur : mendapat bagian sedikit karena banyak dibagikan pada orang lain (hanya mendapat sisa). 

Kakehan gludhug kurang udan : kebanyakan omong tapi tidak ada buktinya. 

Kalah cacak menang cacak : tergantung keberuntungan, bisa kalah juga bisa menang. 

Kandhang langit, kemul mega : orang yang tidak memiliki tempat tinggal. 

Karna binandhung : hanya mendengar dari orang lain, tidak mendengar sendiri sumber beritanya. 

Katon cepaka sewakul : disukai orang banyak. 

Katoya rasa upaya : mudah tergoda rayuan manis. 

Kawuk ora weruh marang slirane : mencari keburukan orang lain, tapi dirinya sendiri banyak cacat. 

Kaya banyu karo lenga : orang yang tidak bisa rukun (selalu bermusuhan). 

Kaya mimi lan mintuna : rukun, selalu menepati janji, sulit dipisahkan.

Kebanjiran segara madu : mendapat keberuntungan sangat besar. 

Kebat kliwat gancang pincang : bekerja dengan tergesa-gesa hasilnya mesti tidak baik. 

Kebo bule mati setra : orang pandai tapi tidak ada yang mendayagunakan. 

Kebo ilang tombok kandhang : sudah kehilangan malah harus keluar biaya lagi. 

Kebo kabotan sungu : orang yang hidupnya susah karena berat dalam menghidupi anak-anaknya (banyak beban hidup).

Kebo lumaku dipasangi : orang yang meminta pekerjaan kepada orang lain. 

Kebo lumumpat ing palang : mengadili suatu perkara tanpa memakai aturan. 

Kebo mulih menyang kandhange : orang atau barang yang hilang kembali pulang ke asalnya. 

Kebo mutung ing pasangan : orang yang meninggalkan pekerjaannya karena merasa keberatan. 

Kebo nusu gudel : orang tua meminta perlindungan kepada orang muda. 

Kecik-kecik yen udhu : dalam musyawarah sudah lumrahnya kalau punya usul. 

Kecocog ing carang landhep : mendapat cobaan yang lebih besar. 

Kegedhen empyak kurang cagak : keinginan terlalu besar, tapi kurang kecukupan. 

Kejugrugan gunung menyan/kembang : mendapat keberuntungan sangat besar.

Kekudhung walulang macan : Berbohong dengan cara meminta tolong pada orang yang dipercaya. 

Kelacak kepathak : sudah tidak bisa mengelak lagi karena sudah terbukti. 

Kemladheyan ngajak sempal : seperti benalu, ikut numpang tempat tapi justru membuat rusak. 

Kenaa iwake aja buthek banyune : mewujudkan keinginan tanpa harus membuat keramaian. 

Kencana katon wingka : walaupun tampan atau cantik tapi tidak disukai. 

Kendel ngringkel, dhadag ora godak : mengaku berani dan pandai, ternyata sebenarnya penakut dan bodoh. 

Kenes ora ethes : banyak omong tapi bodoh.

Keplok ora tombok : ikut senang-senang, tapi tidak mau ikut mengeluarkan dana. 

Kere munggah bale : orang kecil yang dijadikan orang besar (naik derajatnya). 

Kerot ora duwe untu : punya keinginan tapi tidak punya biaya. 

Kerubuhan gunung : mendapat kesusahan yang sangat besar. 

Kesandhung ing rata, kebentus ing tawang : menemui bahaya yang tidak disangka-sangka. 

Ketapang ngrangsang gunung : terlalu besar harapan, tapi mustahil bisa terlaksana. 

Kethek saranggon : kumpulan orang-orang bejat (berperilaku buruk). 

Ketula-tula ketali : selalu mendapat sengsara. 

Klenthing wadah masin : suatu kebiasaan buruk, meski sudah berhenti tapi adakalanya bisa berbuat buruk lagi. 

Kleyang kabur kanginan, ora sanak ora kadhang : orang yang hidup terlunta-lunta. 

Kongsi jambul wanen : hingga usia sangat tua. 

Kraket ing galar : orang yang miskin sekali. 

Kriwikan dadi grojogan : perkara kecil menjadi besar. 

Kuncung nganti gelung : dari kecil hingga dewasa. 

Kulak warta adol rungu : mencari kabar penting. 

Kementhus ora pecus : suka banyak omong tapi tidak ada apa-apanya. 

Kurung munggah lumbung : pembantu yang diambil istri oleh majikan pemilik rumah. 

Kuthuk nggendhong kemiri : mendapat penghargaan lewat jalan yang beresiko (bahaya). 

Kutuk marani sunduk, ula marani gebuk : mendekat pada bahaya. 

Kuwat drajat : bisa menjadi pemimpin. 

L

Ladak kacengklak : orang angkuh mendapat musibah akibat kelakuannya sendiri. 

Lahang karoban manis : tampan/cantik parasnya, luhur budinya pula. 

Lambe satumang kari samerang : berkali-kali menasehati tapi tidak digugu. 

Lanang kemangi : pria penakut. 

Ledhang-ledhang nemu pedhang : mendapat keberuntungan tanpa disengaja. 

Legan golek momongan : sudah hidup enak tapi malah cari pekerjaan yang berat. 

Legine ngemut gula : orang yang diberi amanah menjaga barang (harta), tapi malah ingin memiliki barang tersebut. 

Lobok atine : sabar, tidak mudah marah. 

Lumpuh ngideri jagad : punya keinginan yang mustahil terwujud. 

Lunyu ilate : omongannya tidak bisa dipercaya.

M

Madu balung tanpa isi : memperkarakan barang yang tidak berguna. 

Maju tatu mundur ajur : perkara yang membuat jadi serba salah. 

Mbalung usus : keinginan yang kadang meredup dan kadang meninggi (muncul). 

Merangi tatal : mengusik hasil musyawarah yang sudah disepakati. 

Mikul dhuwur mendhem jero : menjunjung tinggi nama baik/derajat orang tua.

Milih-milih tebu oleh boleng : akibat banyak pilihan malah akhirnya dapat yang jelek. 

N

Nabok nyilih tangan : berbuat jelek dengan menyuruh/ menggunakan orang lain. 

Nambung laku : pura-pura tidak tahu. 

Nandur kabecikan, andhedher kautaman : berbuat baik kepada orang lain, pasti suatu saat akan mendapat balasannya. 

Narima ing pandum : menerima (ridha) akan takdir pemberian Tuhan. 

Ngadu wuleting kulit, atosing balung : adu kekuatan kanuragan dan kebatinan. 

Ngagar metu kawul : menghasut orang supaya terjadi perselisihan. 

Ngalasake negara : tidak patuh pada perintah (aturan) negara. 

Ngalem legining gula : memuji kelebihan, kepandaian, atau kekayaan seseorang. 

Ngantuk nemu gethuk : tidak bekerja tapi mendapat keberuntungan. 

Ngebun-ebun enjang anjejawah sonten : melamar untuk dirinya sendiri atau untuk orang lain. 

Ngelekake wong picak : memberi pengertian pada orang yang belum berpengalaman. 

Ngemping lara nggenjah pati : sengaja mencari masalah. 

Ngenteni timbale watu item (ngenteni kereme prahu gabus) : menanti barang yang tidak bakal kesampaian. 

Ngetutake kidang lumayu : memberi tahu pengertian yang sulit dipahami. 

Nggedhekake puluk : orang yang hanya menuruti nafsu makannya. 

Nggilut kawruh : mencari ilmu dengan mengerahkan segala kekuatan. 

Ngingu satru ngelelemu mungsuh : punya musuh di dalam keluarga (seperti musuh dalam selimut). 

Nglungguhi klasa gumelar : tinggal dapat enaknya tanpa ikut bersusah payah. 

Nglurug tanpa Bala, Menang tanpa Ngasorake : menang tanpa prajurit, unggul tanpa mengalahkan.

Ngontrakake gunung : orang rendahan bisa mengalahkan orang berkuasa hingga membuat kaget banyak orang. 

Ngrusak pager ayu : merusak atau mengganggu istri orang lain. 

Nguthik-uthik macan dhedhe : membuat orang marah/ memancing kemarahan orang lain. 

Nguyahi segara : memberi pada orang kaya/ tidak ada manfaatnya. 

Nir daya nir wikara : kehilangan kesadaran batin, kewaspadaan dan kekuatan. 

Nrajang grumbul ana macane : seorang wanita pasrah jiwa raganya pada orang yang sudah beristri. 

Nucuk ngiberake : sudah diberi suguhan, pulangnya membawa oleh-oleh. 

Numbak tambuh, nambong laku : orang yang tahu suatu kejadian, tapi pura-pura tidak tahu. 

Nututi layangan pedhot : mencari barang yang sudah hilang. 

Nyangoni kawula minggat : memperbaiki barang yang sudah terlanjur rusak.

Nyolong pethek : meleset dari perkiraan. 

Nyunggi lumpang kentheng : naik derajatnya tapi tidak mau mengeluarkan.


Senin, 18 Mei 2020

Kumpulan Paribasan Jawa dan Maknanya (A - I)



Seperti halnya istilah peribahasa dalam bahasa Indonesia, paribasa Jawa bisa dipahami sebagai pepatah yang mengandung aturan-aturan berperilaku, prinsip, atau nasihat tentang kehidupan ala orang jawa. Paribasa jawa dibentuk dan diciptakan dengan satu ikatan bahasa yang padat, lugas dan jelas sehingga mudah dipahami maksudnya. Gaya penyampaiannya ada yang dilakukan secara lugas, menggunakan perbandingan, dan ada pula yang menggunakan perumpamaan.

orang jawa peribahasa

Sebagai salah satu kekayaan sastra budaya masyarakat jawa, banyak pesan-pesan bijak dan nilai-nilai positif di dalam paribasa jawa yang dapat kita jadikan sebagai pelajaran dalam mengarungi kehidupan di dunia ini. Meski susunan kalimatnya sedikit ringkas dan mudah dihafalkan, namun kandungan maknanya yang mendalam membuatnya tetap terjaga dengan baik, dituturkan secara turun temurun, dan masih kental dalam kehidupan masyarakat Jawa. 

Berikut ini kami sajikan kumpulan paribasa jawa beserta maksudnya yang kami nukil dan terjemahkan dari buku Kabeh Bisa Basa Jawa karya Dr. H. C. Sudi Yatmana dkk. Semoga ada manfaatnya. 


A

Adigang, adigung, adiguna : mengandalkan kekuatan, kekuasaan, dan kepandaiannya.

Ana catur mungkur : tidak mau mendengarkan atau menghindari pembicaraan yang tidak baik.

Ana daulate ora ana begjane : hampir saja mendapat keberuntungan tapi tidak jadi.

Ana gula ana semut : tempat yang banyak rezekinya pasti banyak orang mengerubunginya.

Anak polah bapak kepradah : orang tua ikut kena getahnya akibat tingkah polah anak.

Ancik-ancik pucuking eri : selalu tidak tenang (khawatir, was-was) jika telah berbuat salah.

Anggenthong umos : orang yang tidak bisa menyimpan rahasia.

Angon mangsa : cari waktu yang baik. 

Arep jamure emoh watange : mau enaknya, tidak mau bersusah payah. 

Asu rebutan balung : berebut suatu barang yang sepele (remeh). 

Asu belang kalung wang : orang rendahan (kalangan bawah) tetapi kaya. 

Asu gedhe menang kerahe : orang berpangkat tinggi mesti lebih besar kuasanya. 

Asu marani gepuk : sengaja mendatangi bahaya. 

Ati bengkong oleh oncong : punya niat tapi tidak punya jalannya. 

B

Baladewa ilang gapete : hilang keluhuran (kekuasaan) nya

Banyu pinerang ora bakal pedhot : Perselisihan antar-saudara tidak akan menghilangkan hubungan saudara itu sendiri.

Bathang lelaku : bepergian jauh sendirian melewati jalan yang berbahaya. 

Bathok bolu isi madu : orang kalangan bawah tetapi kaya akan ilmu (pandai). 

Bebek mungsuh mliwis : orang pandai lawannya adalah orang pandai juga. 

Becik ketitik ala ketara : perbuatan baik dan buruk seseorang bakal kelihatan pada akhirnya. 

Belo melu seton : hanya ikut-ikutan saja, tanpa tahu maksudnya. 

Beras wutah arang mulih marang takere : suatu barang yang sudah rusak jarang bisa pulih kembali seperti sedia kala. 

Bidhung (mbidhung) apirowang : pura-pura menolong, tapi sebetulnya justru membuat rusuh. 

Balilu tan pinter durung nglakoni : orang yang tidak memiliki pengetahuan tentang suatu hal, meskipun sering menjalaninya, masih kalah pandai dengan orang yang memiliki pengetahuan, meski tidak pernah menjalaninya.

Blaba wuda : karena saking dermawannya sampai-sampai hidupnya sendiri kesulitan. 

Blubuk oleh leng : punya niat tidak punya jalannya. 

Buru (mburu) uceng kelangan deleg : memburu barang remeh malah kehilangan barang berharga. 

Busuk ketekuk, pinter kablinger : orang pintar dan orang bodoh sama-sama apes. 

Buwang (mbuwang) tilas : menutupi kesalahannya dengan pura-pura tidak tahu perbuatan buruk yang dilakukannya. 

C

Car cor kurang janganan : bicara asal ceplas ceplos tanpa dipikir terlebih dulu. 

Cathok gawel : suka ikut campur padahal tidak diajak rembugan. 

Cebol nggayuh lintang : punya harapan yang mustahil bisa terlaksana. 

Cecak nguntal empyak : memiliki ambisi yang tidak seimbang dengan kekuatannya. 

Cedhak celeng boloten : berteman dekat dengan orang jahat bisa ikut ketularan berbuat jahat. 

Cedhak karo kebo gupak : dekat orang berbuat jahat bisa ketularan jahat. 

Cincing-cincing meksa klebus : tujuannya hendak berhemat, tapi akhirnya malah habis banyak. 

Ciri wanci lelahe ginawa mati : kebiasaan buruk yang tidak bisa hilang. 

Criwis cawis : banyak omong tetapi juga mampu bekerja dengan benar. 

Cuplak andheng-andheng, ora prenah panggonanane : orang atau barang yang bisa menyebabkan berbuat jelek sebaiknya disingkirkan. 

D

Dadia suket suthik nyenggut : tidak mau bertegur sapa karena saking jengkelnya menerima perlakuan buruk (menyakitkan) dari orang lain.

Dadi cuplak andheng-andheng : orang menjadi beban negara sebab kelakuannya. 

Dalan gawat becik disingkiri : orang yang sulit diajak negosiasi lebih baik tinggalkan saja. 

Derman golek momongan : sudah punya pekerjaan tetap tapi masih cari sampingan. 

Desa mawa cara, Negara mawa tata : setiap tempat punya cara dan aturan masing-masing. 

Dhalang kerubuhan panggung : suatu hal buruk dikatakan baik. 

Dhandhang diunekake kuntul, kuntul dionekake dhandhang : buruk dikatakan baik, dan baik dikatakan buruk. 

Dhemit ora ndulit, setan ora doyan : selalu diberi keselamatan, tidak ada yang mengganggu. 

Dicuthatake kaya cacing : diusir dengan paksa. 

Dijuju kaya manuk : orang yang dicukupi semua kebutuhannya. 

Diwenehi ati ngrogoh ampela : sudah diberi malah minta lebih banyak. 

Dolanan ula mandi : orang yang sengaja mencari perkara. 

Dom sumurup ing banyu : mencari tahu rahasia orang lain dengan pura-pura menjadi temannya. 

Dudu berase ditempurake : menanggapi suatu percakapan tapi tidak sesuai temanya. 

Dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan : meskipun orang lain (tidak ada hubungan darah), kalau mendapat kesusahan tetap akan dibantu. 

Duk sandhing geni : pergaulan pria dan wanita yang tidak ada batasnya. 

Durjana mati raga : durjana atau penjahat yang nekat berani mati.

Durniti karetna hadi : orang yang punya ilmu tapi tidak mau mengamalkan. 

Durung acundhuk acandhak : belum tahu duduk permasalahan tapi ikut cawe-cawe. 

Durung bisa ngaku becus : belum bisa mengaku bisa atau bodoh mengaku pintar. 

Durung ilang pupuk lempuyange : dianggap anak kecil, tidak ada faedahnya. 

Durung pecus keselak besus : belum cukup mampu sudah kepingin yang tidak-tidak. 

E

Emban cindhe emban siladan : pilih kasih, tidak adil, satu dan lainnya tidak sama bagiannya. 

Embat-embat celarat : bekerja dengan sangat hati-hati. 

Emprit abuntut bedhug : perkara remeh menjadi besar. 

Endhas gundul dikepeti : hidup sudah enak masih mendapat keberuntungan. 

Endhas pethak ketiban empyak : mendapat kesulitan bergonta-ganti.

Enggon welut didoli udhet : orang pandai dipameri kepandaian yang tidak seberapa, atau orang sedikit tahu pamer kepandaian kepada orang yang lebih tahu. 

Entek golek kurang amek : memarahi orang sampai sebegitunya. 

Entek jarake : habis kekayaannya.

Entheng tangane : ringan tangan atau senang membantu. 

Esuk dhele sore tempe : pendirian mudah berubah (goyah), tidak konsisten. 

Esuk-esuk nemu gethuk : datangnya rizki yang tidak terduga.

G

Gagak nganggo laring merak : orang kalangan bawah perilakunya seperti orang berkuasa. 

Gajah alingan suket teki : lahir dan batin yang sangat berbeda pasti akan ketahuan. 

Gajah marani wantilan : orang yang sengaja mencari perkara (masalah). 

Gajah ngidak rapah : orang yang menerjang larangannya sendiri. 

Gajah tumbuk, kancil mati tengah : orang berkuasa bertengkar dengan sesama orang berkuasa, orang kecil yang mendapat sengsara. 

Gambret singgang merkatak, ora ana sing ngundhuh : wanita yang punya banyak teman. 

Garang-garing : bicara seakan-akan orang kaya, tapi sebetulnya hidup kesulitan. 

Gawe buwana balik : nasib orang itu tidak tetap (bisa berubah). 

Gawe luwangan, ngurugi luwangan : mencari hutangan hanya untuk membayar hutang lainnya. 

Gedhang apupus cindhe : keadaan yang tidak bakal kesampaian. 

Gedhe dhuwur ora pangur : orang yang tidak tahu sopan-santun (tatakrama). 

Gedhe endhase : orang berwatak sombong. 

Geguyon dadi tangisan : kejadian menyenangkan berubah menjadi kejadian menyedihkan. 

Giri lusi, janma tan kena ingina : jangan sok menghina orang lain. 

Gliyak-gliyak tumindak, sareh pakoleh : meskipun pelan-pelan, tapi terlaksana maksudnya. 

Glundung suling : seorang pria kok tidak membawa harta ketika memulai hubungan dengan seorang wanita. 

Golek banyu bening : mencari pitutur yang baik. 

Golek-golek ketanggor wong luru-luru : maksud hati ingin mencari hutangan malah dimintai hutang. 

Golek karo epek-epek : ingin berdagang (usaha) tapi tidak punya sarananya (modal). 

Gondhelan poncoting tapih : seorang pria yang dikuasai istrinya. 

Greget-greget suruh : ingin marah, tapi tidak sampai hati. 

Gupak pulute ora mangan nangkane : ikut bersusah payah, tapi tidak ikut merasakan enaknya. 

I

Idhep-idhep nandur pari jero : berbuat baik tapi mengharapkan balasannya.

Idu didilat maneh : menarik pembicaraan (janji) yang sudah terlontarkan. 

Ilang jarake, kari jahile : hilang kepribadian buruk, tinggal kepribadian yang baik. 

Ilo-ilo ujaring wong tuwo : menjalankan petuah dari orang tua akan sering mendapat keberuntungan karena orang tua lebih berpengalaman. 

Iwak kalebu ing wuwu : mudah dibohongi.


Selasa, 12 Mei 2020

Sekilas Tentang Sekaten dan Macam-Macam Grebeg

Adanya upacara-upacara adat yang berkembang di masyarakat biasanya didasari oleh adanya keyakinan agama atau pun kepercayaan mereka. Upacara-upacara tersebut merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, para dewa, atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib agar senantiasa diberikan kesejahteraan serta dijauhkan dari berbagai malapetaka dan bencana. 

Pada masa berdirinya kerajaan-kerajaan besar seperti Majapahit dan Mataram, upacara-upacara adat yang meliputi hari-hari besar kenegaraan dan keagamaan memiliki arti penting sehingga selalu rutin diselenggarakan. Upacara tersebut digelar sebagai pertanda kebesaran kerajaan sekaligus juga sebagai alat pemersatu untuk wilayah-wilayah yang dikuasai serta memperkokoh legitimasi kekuasaan pusat. 

Sejak zaman kerajaan Majapahit, sudah terdapat kebiasaan untuk merayakan hari-hari besar nasional, baik berupa upacara-upacara keagamaan maupun kenegaraan. Bahkan setelah masuknya agama dan kebudayaan Islam, upacara-upacara tersebut juga masih dilestarikan, hanya saja kemudian diwarnai dengan unsur-unsur islami. 

Sekaten

Salah satu di antara perayaan upacara adat yang masih dilestarikan keberadaannya hingga kini adalah "Sekaten". Upacara sekaten pada mulanya merupakan upacara Aswamenda dan Asmaradahana yang dilakukan dengan meriah pada zaman pemerintahan Batara Prabu Brawijaya V dari kerajaan Majapahit akhir. Setelah masuknya agama Islam, upacara tersebut kemudian diubah menjadi upacara "Sekaten" oleh Sunan Kalijaga pada masa kekuasaan Kerajaan Demak. 

Sebelum diberi unsur Islam, Nama Sekaten sendiri merupakan penyesuaian makna dari nama "Jimat Kalimasada" yang berarti "Kali-Maha-Usaha" (obat mujarab dari Dewi Kali). Pada zaman Islam, Kalimasada mendapat makna baru yaitu "Kalimat Syahadat". Oleh karena itu, perayaan Sekaten yang pada zaman Majapahit bermakna sebagai penghibur Sesak Hati (Sesak-Hatian = Sekaten), pada zaman para Wali kemudian diubah menjadi Syahadatain (Sekaten). 

Syahadatain berarti dua kalimat Syahadat, yang mana merupakan asas dan dasar dari lima rukun Islam, juga sebagai ruh, inti dan landasan seluruh ajaran Islam. Kalimat pertama merupakan syahadah at-tauhid, sedangkan kalimat kedua merupakan syahadah ar-rasul. Kedua kalimat tersebut dalam syariat Islam merupakan sebuah pernyataan kepercayaan sekaligus pengakuan akan keesaan Tuhan (Allah) dan Muhammad sebagai rasulNya.

grebeg mulud sekaten
pic. via travelisme.com

Upacara Sekaten pada masa Islam kemudian dirayakan dengan lebih meriah pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma, Raja terbesar Mataram. Bahkan sampai sekarang, upacara tersebut tetap diselenggarakan setiap tahunnya di Keraton Surakarta Hadiningrat dan Keraton Yogyakarta Hadiningrat sebagai penerus Kerajaan Mataram Islam. Rangkaian perayaan Sekaten biasanya berlangsung dari tanggal 5 dan berakhir pada tanggal 12 Mulud penanggalan Jawa (dapat disetarakan dengan Rabiul Awal penanggalan Hijriah).

Beberapa acara penting pada saat perayaan ini adalah dimainkannya gamelan pusaka di halaman Masjid Agung masing-masing keraton, pembacaan riwayat hidup Nabi Muhammad SAW dan rangkaian pengajian di serambi Masjid Agung. Puncaknya, sebagai bentuk syukur pihak istana dikeluarkan sejumlah gunungan untuk diperebutkan oleh masyarakat. Perayaan ini dimeriahkan pula oleh pasar malam (biasa disebut "Sekatenan") yang berlangsung selama sekitar 40 hari dimulai pada awal bulan Sapar (Safar).

Macam-macam Perayaan Grebeg

Sultan Agung, Sang Raja Mataram memang dikenal akan banyak peranannya dalam pengembangan kebudayaan di jawa. Sultan Agung senantiasa berusaha membuat suasana harmonis antara kebudayaan Jawa dengan nilai-nilai Islam. Pada perayaan hari-hari besar keagamaan, Sultan Agung juga mengembangkan rintisan para Wali dengan mengagendakan perayaan Grebeg yang berarti Hari Besar. Sejak masa pemerintahan Sultan Agung, dikenal adanya 3 macam Grebeg, yaitu:

  1. Grebeg Pasa/Syawal, yaitu perayaan untuk menghormati bulan suci Ramadhan dan malam Lailatul Qadar yang diadakan setelah berakhirnya kewajiban puasa, yakni pada hari raya Idul Fitri. Grebeg Pasa/ Syawal juga dapat dimaknai untuk menandai kemenangan bagi umat muslim setelah berhasil menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh.
  2. Grebeg Besar, yaitu perayaan hari raya Idul Adha yang jatuh pada bulan Zulhijah, atau biasa disebut "Besar" pada penanggalan Jawa. Pada perayaan ini, Sultan menyerahkan sejumlah hewan untuk dijadikan kurban. Selain prosesi ibadah kurban, perayaan ini juga merupakan peringatan puncak ibadah Haji yang dilaksanakan umat Islam di tanah Suci. 
  3. Grebeg Maulud, yaitu perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada tanggal 12 Mulud (Rabiulawal). Tujuannya yaitu untuk memetik suri tauladan dari kehidupan Rasullulah SAW. Tradisi ini kabarnya sudah dimulai sejak zaman Kesultanan Demak dan masih dilestarikan hingga kini dengan adanya perayaan Sekaten.

Itulah sekilas mengenai Sekaten dan berbagai perayaan Grebeg bagi masyarakat Jawa. Dapat dipahami bahwa upacara-upacara tersebut merupakan hasil dari proses adaptasi (penyesuaian) kebudayaan jawa dengan nilai-nilai Islam, sehingga keberadaannya memang patut untuk dilestarikan. Demikian. Semoga bermanfaat. 

Minggu, 26 April 2020

Legenda Ajisaka, Tahun Saka, dan Asal Mula Aksara Jawa (Hanacaraka)


Aksara Jawa (hanacaraka) merupakan salah satu warisan budaya yang mengandung filosofi, simbol dan kaya akan nilai-nilai luhur dari peradaban masa lalu negeri ini. Namun sayangnya di zaman modern ini, penggunaannya hanya simbolis digunakan untuk melestarikan keberadaannya saja. Itu pun dalam lingkup kecil, seperti di bangku-bangku sekolahan atau lembaga-lembaga kedaerahan tertentu. Padahal sebagai jatidiri atau identitas asli negeri ini, mestinya aksara Jawa atau Carakan ini dapat bersanding dengan aksara-aksara dari negara lain seperti aksara Arab, China, Thailand, Jepang, dan lain-lain. 

Legenda Ajisaka

Sebagai orang Jawa, pernahkah terbesit dalam benak anda sejak kapan aksara tersebut mulai digunakan?. 

Kalangan sejarawan ada yang berpendapat bahwa penggunaan abjad (aksara) di Jawa sebetulnya sudah dimulai sejak tahun 78 M. Hal ini ditandai dengan datangnya salah satu tokoh legendaris tanah Jawa yang bernama Ajisaka. Beberapa literatur menyebutkan bahwa Ajisaka berasal dari Bumi Majeti, sebuah negeri antah-berantah mitologis. Legenda ini juga melambangkan akan kedatangan Dharma (ajaran dan peradaban Hindu-Buddha) ke pulau Jawa pada masa itu. 

Ada yang menafsirkan bahwa Ajisaka berasal dari Jambudwipa (India) dari suku Shaka (Scythia), karena itulah ia bernama Ajisaka (Raja Shaka). Namun ada juga beberapa kalangan sejarawan yang menghubungkan nama Ajisaka dengan nama Prabu Iwaksa dari kerajaan Surati di India. Ajisaka yang saat itu kalah dalam perang kemudian terusir dari negerinya dan akhirnya sampai di tanah Jawa. 

Di Jawa, ia kemudian menyebarkan perhitungan tarikh (kalender) yang dinamakan tahun Saka. Tahun Saka adalah penanggalan lunisolar (suryacandra) yang menggunakan fase bulan sebagai acuan utama namun juga menambahkan pergantian musim di dalam perhitungan tiap tahunnya.

Perhitungan tahun Saka dimulai sejak kedatangan Ajisaka yaitu tahun 1 Saka yang bertepatan dengan tahun 78 Masehi. Selain memperkenalkan tahun Saka, Ajisaka juga menyebarkan pengetahuan membaca dan menulis sebagai dasar pengembangan kebudayaan. Memang pada periode itu belum ditemukan peninggalan tertulis berdasarkan bukti sejarah yang ada. Prasasti tertua yang menggunakan huruf Jawa Kuno adalah prasasti Dinoyo dari kerajaan Kanjuruhan (Malang) berasal dari tahun 682 Saka atau tahun 760 Masehi. 

Meski begitu, beberapa ahli memiliki kesimpulan yang hampir sama, bahwa legenda Ajisaka ini memiliki hubungan dengan penggunaan Kalender Saka yang digunakan di Jawa sebelum diperkenalkannya Kalender Islam dan Kalender Jawa oleh Sultan Agung pada tahun 1633 M. 

Selain penggunaan Kalender Saka, datangnya Ajisaka ke tanah Jawa juga dikaitkan dengan diperkenalkannya aksara Jawa hingga kemudian menjadi salah satu aksara tradisional Nusantara yang digunakan untuk menulis bahasa Jawa dan sejumlah bahasa daerah lainnya seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura. 

Adapun mengenai asal mula terciptanya aksara Jawa, berikut kisahnya:

Ajisaka merupakan nama samaran dari Empu Sengkala, seorang pemuda Hindustan yang datang ke tanah Jawa untuk menyelamatkan rakyat Jawa (Medang Kamulan) dari kekejaman rajanya, Dewata Cengkar, yang memiliki kebiasaan memakan daging manusia. Dengan kecerdikan dan kesaktiannya, Ajisaka pun berhasil mengalahkan Dewata Cengkar. Atas jasanya itu, ia kemudian dinobatkan sebagai Raja di Medang Kamulan. 

Ajisaka memiliki dua orang pengawal setia bernama Dora dan Sembada. Keduanya kakak beradik namun memiliki tabiat berbeda. Sembada memiliki sifat jujur, sedangkan Dora memiliki sifat sering berbohong. Sebelum pergi menolong rakyat Medang Kamulan, Ajisaka meninggalkan keris pusaka di pertapaannya dan menyuruh Sembada untuk menungguinya. Ajisaka berpesan bahwa tidak ada satupun orang yang boleh mengambil keris itu kecuali dirinya.

Setelah menjadi Raja Medang Kamulan, Ajisaka mengutus Dora yang bersamanya untuk mengambil keris yang ditinggal di padepokannya, sambil berpesan agar jangan kembali kepadanya tanpa membawa keris tersebut. Mengingat pesan gurunya, Sembada menolak memberikan keris itu kepada Dora walaupun ia telah mengatakan bahwa ia disuruh gurunya. Keduanya bersitegang dan berakhir dengan pertarungan.

Dora sembada

Karena keduanya memiliki kesaktian yang hampir sama, maka keduanya sama-sama mati terbunuh dalam perkelahian itu. Ajisaka yang kemudian menyusul menemukan mayat kedua pengawalnya itu. Di depan mayat kedua murid sekaligus pengawalnya itu, Ajisaka mengucapkan, "hana caraka, data sawala, padha jayanya, maga bathanga", yang artinya abdi-abdi yang setia, terlibat dalam perkelahian, sama-sama kuatnya, telah menemui ajalnya. Ucapan Ajisaka itu kemudian dikenal sebagai deretan huruf Jawa.

Aksara jawa

Kamis, 23 April 2020

15 Tembang (Lagu) Dolanan Jawa Serta Liriknya


Mungkin anak-anak Jawa kekinian kurang begitu tahu akan tembang-tembang dolanan Jawa yang dulu biasa dinyanyikan saat bulan purnama. Meski liriknya ringan atau kadang cukup singkat, namun di dalamnya terkandung makna dan falsafah luhur dalam hidup. Ada yang mengatakan bahwa beberapa dari tembang-tembang dolanan ini dahulunya diciptakan oleh para Wali sebagai sarana dakwah sehingga tidak heran jika di dalamnya banyak berisi ajaran tentang pendidikan dan budi pekerti, sebagai bekal hidup antara sesama manusia dan manusia kepada Tuhannya. 

Anak lagi dolanan

Tembang Dolanan yaitu tembang (lagu) untuk anak-anak yang bertujuan menghibur hati agar senang dan terlipur hatinya, supaya berimbang antara kebutuhan lahir dan batinnya. Tembang dolanan biasa dinyanyikan sendiri atau berkelompok sambil bermain dengan diiringi suara gamelan. Karena mudah dipelajari dan nada yang menyenangkan, menyanyikan tembang dolanan juga dapat meningkatkan kreatifitas dan daya fikir anak, bahkan dapat pula meningkatkan imajinasi dan kesehatan mereka. 

Berikut ini kami sajikan beberapa tembang dolanan Jawa populer beserta liriknya untuk anda. Semoga bermanfaat. 

1. Sluku-Sluku Bathok

Sluku-sluku bathok
Bathoke ela-elo
sluku bathok
Bathoke ela-elo
Si Rama menyang Solo
Oleh-olehe payung motha
Mak jenthit lolo lobah
Wong mati ora obah
Nek obah medeni bocah
Nek urip goleka dhuwit.

2. Lir Ilir

Ilir-ilir tandure wis sumilir
Tak ijo royo-royo taksengguh temanten anyar
Bocah angon-bocah angon penekna blimbing kui
Lunyu-lunyu penekna kanggo mbasuh dodotiro
Dodotira-dodotira kumitir bedhah ing pinggir
Dondomana jlumatana kanggo seba mengko sore
Mumpung padhang rembulane
Mumpung jembar kalangane
Ya soraka sorak hore

3. Suwe Ora Jamu

Suwe ora Jamu
Jamu godhong tela
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan
Gawe gela

Suwe ora jamu
Jamu godhong lumbu
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan tambah ayu

Suwe ora jamu
Jamu godhong meniran
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan ngajak dolanan

Suwe ora jamu
Jamu kunir asem
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan mesam mesem

Suwe ora jamu
Jamu kembang turi
Suwe ora ketemu
Ketemu pisan karo suri

4. Jamuran

Jamuran ya ge-ge thok,
Jamur apa ya ge-ge thok
Jamur gajih mberjijih sak ara-ara,
Sira bage jamur apa?

Jamur apa?
Jamur gagak
Gaok gaok gaok
gaok gaok
Jamuran ya ge-ge thok
Jamur apa ya ge-ge thok
Jamur gajih mberjijih sak
ara-ara sira bage jamur apa?
Jamur apa?
Jamur kethek menek
Uwite ra ana kethek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek
Kethek menek Kethek menek

5. Cublak-Cublak Suweng

Cublak-cublak suweng
Suwenge ting gelenter
Mambu ketundhung gudel
Pak empo lera-lere
Sapa ngguyu ndhelikake
Sir-sir pong dhele gosong
Sir-sir pong dhele gosong

6. Menthok-Menthok

Menthok-menthok tak kandhani
Mung lakumu angisin-isini
Mbokya aja ngetok
Ana kandhang wae
Enak-enak ngorok
Ora nyambut gawe
Menthok-menthok mung lakumu
Megal-megol gawe guyu

7. Gundul - Gundul Pacul

Gundul-gundul pacul-cul gelelengan..
Nyunggi-nyunggi wakul-kul gembelengan..
Wakul glimpang segane dadi saratan..
Wakul glimpang segane dadi saratan..

Ono bocah gundul ndul
Lungo menyang sawah
Nyunggi nyunggi wakul kul
Karo gemblelengan
Mlaku neng tengah ndalan
Ora wedi bebayan
Wakule ngglimpang
Dadi sak latar
Ojo nangis ndul
Mundhak tambah gundhul
Ojo nangis ndul
Mundhak tambah gundul

8. Dhondhong Apa Salak

Dhondhong apa salak
Dhuku cilik-cilik
Andhong apa mbecak
Mlaku dimik-dimik
Atik ndherek Ibu tindak menyang pasar
Ora pareng rewel ora pareng nakal
Ibu mengko mesthi mundhut oleh-oleh
Kacang karo roti Atik dhiparingi
Dhondhong apa salak, dhuku cilik-cilik
Gendhong apa pundhak aja ngithik-ithik

Anak main jaranan
via satujam.com

9. Jaranan

Jaranan jaranan jarane jaran teji
Sing numpak ndara bei
Sing ngiring para mantri
Jeg jeg nong jeg jeg gung
Prok prok turut lurung
Gedebug krincing gedebug krincing
Prok prok gedebug jedher

Jaranan jaranan jarane jaran kepang
Sing nunggang klambi abang
Mlakune ndut endutan
Jeg jeg nong jeg jeg gung
Jarane mlebu neng lurung
Gedubug krincing
Gedubug krincing
Prok prok gedebug jedher

Jaranan jaranan jarane jaran kori
Ora ono kendhaline
Jarane mlayu dhewe
Jeg jeg nong
Jeg jeg gung
Jarane mlebu neng lurung
Gedebuk krincing
Gedebuk krincing
Prok prok gedebug jedher

10. Kodhok Ngorek

Kodhok ngorek kodhok ngorek
Ngorek pinggir kali
Theyot teblung theyot teblung
Theyot theyot teblung
Bocah pinter bocah pinter mbesuk dadi dokter
Numpak Opo Numpak Opo
Numpak Kapal Mabur
Bocah bodho bocah bodho
Njaluk Dijamoni
Jamu Opo Jamu Opo
Temulawak Pait

11. Pitik Tukung - Pitik Cilik

Aku duwe pitik, pitik tukung
saben dina, tak pakani jagung
petok gogok petok petok ngendhog siji
tak teteske, kabeh trondhol dhol dhol
tanpa wulu, megal-megol gol gol gawe guyu

Aku duwe pitik cilik, wulune brintik
Cucuk kuning, jengger abang, tarung mesti menang
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

Aku duwe pitik tukung, buntute buntung
Saben dina mangan jagung, mesti wani tarung
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

Aku duwe pitik brondol, wulune brodhol
Mung mlakune megal megol, tarung mesti nothol
Sapa wani karo aku, mungsuh pitikku

12. Kidang Talun

Kidang Talun
mangan kacang talun
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayung

Tikus pithi
duwe anak siji
cicit cuit cicit cuit
maju perang wani mati

Kidang Talun
mangan kacang talun
mil kethemil mil kethemil
si kidang mangan lembayung

Gajah belang
suko tanah mlembang
nuk legenuk nuk legenuk
gedhene meh podho gunung

13. Siji Loro Telu

Siji loro telu,
Astane sedheku,
Mirengake bu guru
Menawa didangu..

Papat nuli lima..
Lenggahe sing tata,
Ojo podho sembronoo,
Mundhak ora bisa

14. Si Ibu

Ibu nangdi lawange dikunci
Cendhelane padha ditutupi
Iki wis wayahe jam siji
Wis wayahe wetengku diisi
Kabeh yen tak takoni
Mesthi mangsuli ora weruh
Kabeh yen tak takoni
Mesthi mangsuli ora weruh

15. Padhang Bulan

Yo prakanca dolanan ing njaba
Padhang mbulan padhange kaya rina
Rembulane ngawe-awe
Ngelingake aja turu sore-sore