Tampilkan postingan dengan label Horizon. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Horizon. Tampilkan semua postingan

Minggu, 05 Juli 2020

Pengertian Taubat dan Syarat-Syarat Diterimanya

Setiap orang pasti pernah berbuat dosa sehingga untuk menghapusnya ia wajib segera bertaubat dengan sebenar-benarnya. Dengan bertaubat, maka dosa-dosa itu dapat dihapus sehingga ia akan memperoleh ampunan dari Allah SWT. Bahkan dengan bertaubat sungguh-sungguh (taubat nasuha), ia akan kembali menjadi seperti orang yang tidak berdosa. Rasulullah SAW bersabda:

التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لَا ذَنْبَ لَهُ

"Orang yang bertaubat dari dosanya, maka ia seperti orang yang tidak berdosa" (HR. Ibnu Majah). 

ilustrasi taubat
ilustrasi

Bertaubat artinya adalah memohon ampunan Allah dengan benar-benar menyesali perbuatannya dan tidak akan mengulangi lagi kesalahan serupa. Kata taubat berasal dari bahasa Arab at-taubah (التوبة), dari kata kerja taaba-yatuubu (تاب - يتوب) yang berarti ruju' atau kembali. 

Menurut istilah yang dikemukakan Ulama, kata taubat mencakup 3 pengertian, yaitu:
  • Kembali dari kemaksiatan kepada ketaatan atau kembali dari jalan yang jauh dari Allah kepada jalan yang lebih dekat kepada Allah.
  • Membersihkan hati dari segala dosa.
  • Meninggalkan keinginan untuk melakukan kejahatan seperti yang pernah dilakukan, karena untuk mengagungkan nama Allah SWT dan menjauhkan diri dari kemurkaanNya.

Hukum bertaubat adalah wajib bagi setiap Muslim atau Muslimat yang sudah mukallaf (baligh dan berakal). Allah SWT berfirman:

يٰٓأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا تُوبُوٓا إِلَى اللَّهِ تَوْبَةً نَّصُوحًا عَسٰى رَبُّكُمْ أَنْ يُكَفِّرَ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيُدْخِلَكُمْ جَنّٰت

"Wahai orang-orang yang beriman, bertobatlah kepada Allah dengan tobat semurni-murninya, mudah-mudahan Tuhan kamu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkan kamu ke dalam surga...". (QS. At-Tahrim, 8).

Taubat dianggap sah dan dapat menghapus dosa apabila telah memenuhi syarat yang telah ditentukan. Apabila dosa itu terhadap Allah SWT, maka syarat taubat ada empat macam, yaitu:
  1. Menyesal terhadap perbuatan maksiat yang telah diperbuat (nadam). 
  2. Meninggalkan perbuatan maksiat tersebut. 
  3. Bertekad dan berjanji dengan sungguh-sungguh tidak akan mengulangi lagi perbuatan maksiat tersebut. 
  4. Mengikutinya dengan perbuatan baik, karena perbuatan baik akan menghapus kejahatan. Allah SWT berfirman:

...إِنَّ الْحَسَنٰتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَات...

"...Sesungguhnya perbuatan-perbuatan baik itu menghapus kesalahan-kesalahan..."

Namun apabila dosanya juga terhadap sesama manusia, maka syarat taubatnya selain yang empat macam tersebut ditambah dengan dua syarat, yaitu:
  1. Meminta maaf terhadap orang yang telah dizalimi (dianiaya) atau dirugikan. 
  2. Mengganti kerugian setimbang dengan kerugian yang dialaminya, yang diakibatkan perbuatan zalim atau meminta kerelaannya. 

Perlu pula diketahui dan disadari oleh setiap orang yang telah berbuat dosa, bahwa seseorang yang membaca istighfar (mohon ampunan dosa kepada Allah), tetapi terus menerus berbuat dosa, maka ia akan dianggap telah mengolok-olok Tuhannya. Rasulullah SAW bersabda:

المستغفر من الذنب وهو مقيم عليه كالمستهزئ بربه 

"Orang yang memohon ampunan kepada Allah (membaca istighfar), tetapi ia terus menerus berbuat dosa, maka ia dianggap memperolok-olok Tuhannya". (HR. Baihaqi). 

Demikian juga seseorang yang berbuat dosa dan baru bertaubat ketika sakaratul maut (nyawanya sudah berada di tenggorokan) maka taubatnya tidak akan diterima oleh Allah. Dalam sebuah hadits dari Ibnu Umar RA, Rasulullah SAW bersabda:

إِنَّ الله عزَّ وجَلَّ يقْبَلُ توْبة العبْدِ مَالَم يُغرْغرِ

"Sesungguhnya Allah yang Maha Mulia dan Maha Agung akan menerima taubat seorang hamba selama ia belum mengalami sakratul maut (nyawa sudah di tenggorokan)". (HR. At-Tirmizi). 

Senin, 29 Juni 2020

Antara Keadilan, Rahmat, dan Derajat Keutamaan

Allah memang Maha Adil, namun apakah Allah selalu berlaku adil kepada hamba-hambaNya?. Ketahuilah bahwa Allah tidak mengatur hamba-hambaNya hanya dengan keadilan saja, namun Ia juga melimpahkan rahmat dan kemurahanNya kepada hamba-hambaNya baik di dunia maupun di akhirat kelak. Allah pernah berbicara kepada Musa: "Allah berfirman: "Siksaku akan Kutimpakan kepada siapa yang Aku kehendaki, dan rahmatKu meliputi segala sesuatu" (QS. Al A'raf, 156).

memandang alam
via pixabay

Ilmu Allah mencakup segala sesuatu, demikian pula rahmatNya juga meliputi segala sesuatu. Hukuman yang Allah berikan kepada hambaNya dikaitkan dengan kehendakNya, sedangkan rahmatNya bersifat umum dan dijadikannya meliputi segala sesuatu. Apa buktinya?. 

Seandainya Allah mengatur kita di dunia ini hanya dengan keadilanNya saja, maka pastilah semua yang ada di muka bumi ini akan hancur. Sebagaimana firmanNya:

"Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan usahanya, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu makhluk yang melata pun" (QS. Fathir, 45).

Kita melihat bencana dan musibah terjadi di mana-mana. Banjir dan tanah longsor setiap tahun sering terjadi. Tsunami dan gunung meletus siap mengancam kapan saja. Bahkan kini virus Corona datang dan mewabah hingga merambah ke seluruh penjuru dunia dengan jumlah korban tiada terkira. Semua ini terjadi tidak lepas dari apa yang sudah manusia lakukan di atas bumi ini. Dan semua bencana atau musibah ini juga memang kuasa Allah untuk menimpakannya kepada umat manusia tanpa terkecuali. 

Namun jika kita renungi kembali, bencana atau musibah yang telah Allah timpakan ini, semua ini belumlah sebanding jika Allah ingin mengadili manusia atas apa yang telah mereka perbuat selama hidup di dunia ini. Allah memberi hukuman kepada manusia atas apa yang telah mereka perbuat, namun tidak semuanya. Dan Allah melakukan hal itu pun bukan sebagai balas dendam, melainkan agar mereka sadar dan lekas kembali ke jalan yang benar. Allah berfirman:

"Dan apa saja musibah yang menimpa kamu disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahanmu)" (QS. Asy-Syura, 30).

FirmanNya yang lain juga menyebutkan:

"Telah nampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari (akibat) perbuatan mereka, agar mereka kembali (ke jalan yang benar)" (QS. Ar-Rum, 41).

Dari sini dapat dipahami bahwa jika tidak karena pengampunanNya terhadap sebagian besar kezaliman kita kepada diri kita, maka pastilah kita sudah hancur sebab keadilanNya. Namun nyatanya Ia lebih mengedepankan rahmat dan kemurahanNya ketimbang memberlakukan keadilanNya atas kita semua. Begitu pula yang terjadi terkait balasan amal yang akan kita terima kelak saat berada di alam akhirat. Allah SWT berfirman:

"Barangsiapa membawa amal yang baik, maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya dan barangsiapa yang membawa perbuatan yang jahat maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengan kejahatannya, mereka sedikit pun tidak dianiaya (dirugikan)". (QS. Al-An'am, 160).

Dari ayat di atas, kita mengerti bahwa Dia menanggapi kejahatan dengan keadilan dan kebaikan dengan kemurahanNya. Bahkan kita mendapatkan bahwa sebagian kebaikan dilipatgandakan sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, seperti menafkahkan harta di jalan Allah. Firman Allah: 

"Perumpamaan (nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada tiap-tiap bulir, seratus biji. Allah melipatgandakan (ganjaran) bagi siapa yang Dia kehendaki. Dan Allah Mahaluas (karuniaNya) lagi Maha Mengetahui". (QS. Al-Baqarah, 261).

Dalam sebagian riwayat juga disebutkan bahwa Allah berfirman: "Kebaikan di sisiKu seharga sepuluh kali kelipatannya sampai tujuh ratus kali bahkan lebih, sedangkan kejahatan di sisiKu seharga satu saja atau Aku akan mengampuni"

Itulah kenapa Allah juga mengajak kepada hambaNya agar kita tidak mencukupkan hanya dengan hukum keadilan saja dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Walaupun kita punya hak untuk mendapatkan itu (hukum keadilan), namun pada kondisi-kondisi tertentu kita juga dianjurkan untuk mengambil jalan melalui hukum kerahmatan agar kita dapat naik ke derajat keutamaan, sebagaimana firmanNya: 

"Dan balasan suatu kejahatan adalah kejahatan yang serupa, maka barangsiapa memaafkan dan berbuat baik maka pahalanya atas (tanggungan) Allah". (QS. Asy-Syura, 40). 

Atau firmanNya yang lain:

"Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar". (QS. An-Nahl, 126).

Menghukum suatu kejahatan dengan semisal itu memang sesuai dengan hukum keadilan. Namun jika kita bisa memaafkan suatu kejahatan yang dilakukan oleh orang lain kepada kita, terlebih orang tersebut juga telah meminta maaf dengan setulusnya kepada kita, maka hal itu selaras dengan hukum keutamaan sebagaimana dianjurkan bagi orang-orang beriman untuk melakukannya. 

"Dan tidaklah sama kebaikan dengan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, sehingga orang yang ada rasa permusuhan antara kamu dan dia akan seperti teman yang setia". (QS. Fussilat, 34). 

Kamis, 18 Juni 2020

Dampak Akibat Korupsi Bagi Masyarakat

Hampir semua negara-negara di dunia ini menghadapi masalah serius akibat dari korupsi. Meski sudah puluhan tahun kemajuan dalam penegakan hukum dan antikorupsi diberlakukan, hasil saat ini mengindikasikan bahwa masih banyak yang harus dilakukan untuk memberantas korupsi yang masih merajalela. Dilihat dari sudut pandang apapun juga (baik agama maupun hukum negara), korupsi adalah tindakan salah karena merugikan negara dan membuat sengsara rakyat. 

korupsi
ilustrasi via pixabay

Menurut UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, ada tiga puluh jenis tindakan yang bisa dikategorikan sebagai tindak korupsi. Namun secara ringkas, tindakan-tindakan tersebut dapat dikelompokkan sebagai berikut:
  • Kerugian keuntungan negara
  • Suap-menyuap (istilah lain: sogokan atau pelicin) 
  • Penggelapan dalam jabatan
  • Pemerasan
  • Perbuatan curang
  • Benturan kepentingan dalam pengadaan
  • Gratifikasi (istilah lain: pemberian hadiah) 

Persoalan korupsi memang cukup sulit untuk diberantas. Jangankan pegawai negeri yang punya jabatan, kita saja kalau sudah berurusan dengan uang juga selalu menghadapi godaan untuk menilep. Dalam skala luas, berikut ini beberapa dampak akibat korupsi beserta contohnya:

1. Penegakan Hukum dan Layanan Masyarakat Menjadi Amburadul

Terjaminnya penegakan hukum dan layanan masyarakat yang oke masih menjadi PR bagi para pemangku jabatan di negeri ini. Tidak perlu jauh-jauh, persoalan lalu lintas bisa menjadi contoh yang pas untuk ini. Dari mengurus SIM sampai sidang kasus tilang, banyak dijumpai prosedur yang berjalan tidak sebagaimana mestinya. Ujung-ujungnya, duit dan kekuasaanlah yang bicara. Kalau tidak punya dua hal itu, jangan harap kita bisa mendapat layanan masyarakat yang oke atau keadilan di mata hukum. 

2. Pembangunan Fisik Terbengkalai

Sering bingung kenapa banyak jalanan rusak atau gedung sekolah reyot?. Ya, tidak jarang lagi-lagi semua itu karena korupsi. Mulai dari mengorbankan kualitas bahan bangunan supaya uang bisa ditilep sampai membuat proyek yang sebetulnya tidak perlu, itu sudah biasa dilakukan oleh oknum-oknum tidak bertanggung jawab. Intinya, masih sedikit sekali pembangunan fisik di negara kita yang dijalankan dengan tujuan menghasilkan sesuatu yang kuat dan berguna bagi kemaslahatan masyarakat. 

3. Prestasi Menjadi Tidak Berarti

Seharusnya, orang bisa menduduki jabatan tertentu karena dia memang berprestasi dan kompeten di bidangnya. Tapi faktanya, seringkali kenyataan bicara lain, siapa saja bisa menduduki posisi apa saja dan dimana saja sesuai dengan keinginannya. Syaratnya?, Ya itu tadi, punya uang atau kekuasaan. Maka hasilnya, banyak sekali posisi penting dalam pemerintahan yang diduduki oleh orang-orang tidak becus. Lagi-lagi, kita rakyat kecil lah yang akan kena getahnya. 

4. Demokrasi Menjadi Tidak Jalan

Pemilihan wakil daerah bisa menjadi contoh yang menarik untuk fenomena ini. Habisnya, sudah repot-repot dipilih, sebagian dari para wakil rakyat terpilih tersebut tetap saja lebih mengutamakan kepentingan mereka yang punya duit ketimbang mereka yang memilih. Hasilnya, janji-janji kepada rakyat kecil pun hanya tinggal kenangan karena dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan tertentu. Melihat situasi seperti ini, maka tidak heran kalau rakyat bisa menjadi tidak percaya lagi kepada demokrasi.

5. Ekonomi Menjadi Hancur

Ada dua kata kuncinya: tidak efisien. Mau membuat pabrik mesti menyogok sana-sini, mau membuka usaha dengan modal kecil kalah sama perusahaan-perusahaan bermodal besar yang dekat dengan para pemegang kekuasaan. Miris memang melihat persaingan ekonomi di negeri ini. Tidak heran kalau orang asing pun juga mulai malas untuk berinventasi di Indonesia. Buntut-buntutnya, rakyat kecil juga yang sengsara. Mencari kerja menjadi susah, bertahan hidup apa lagi. 

Meskipun begitu, Pemerintah sebenarnya telah menunjukkan komitmennya dalam berupaya melakukan pemberantasan korupsi di berbagai sektor. Berbagai bentuk ketetapan dan peraturan perundang-undangan juga telah diwujudkan sebagai upaya untuk dapat memberantas praktek korupsi sampai ke akar-akarnya. 

Sebagai warga negara yang baik, kita juga diharapkan untuk ikut berperan serta dan berpartisipasi bersama-sama dalam memberantas korupsi. Harapannya, tentu saja agar praktek korupsi dapat dicegah sehingga angka korupsi dapat berkurang dan bahkan hilang dari bumi pertiwi ini. Semoga. Baca juga: Perangi Korupsi Sejak Dini Mulai dari Kehidupan Sehari-hari


(Sumber referensi berasal dari buku "Pahami dulu baru lawan!, Youth against Corruption", KPK

Minggu, 14 Juni 2020

Tentang Kiblat dan Anjuran Berlomba-lomba dalam Kebaikan (Al Baqarah 148)

Masing-masing agama atau kepercayaan tentu mempunyai arah, hadapan, atau patokan bagi umatnya dalam menjalankan ibadah kepada Tuhannya. Bagi umat Islam, arah atau patokan untuk beribadah tersebut biasa disebut dengan istilah kiblat (qiblat). Dalam firmanNya, Allah SWT menyebutkan:

وَلِكُلٍّ وِجْهَةٌ هُوَ مُوَلِّيهَا  ۖ  فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرٰتِ  ۚ  أَيْنَ مَا تَكُونُوا يَأْتِ بِكُمُ اللَّهُ جَمِيعًا  ۚ  إِنَّ اللَّهَ عَلٰى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

"Dan setiap umat mempunyai kiblat yang dia menghadap kepadanya. Maka berlomba-lombalah kamu dalam kebaikan. Di mana saja kamu berada, pasti Allah akan mengumpulkan kamu semuanya. Sungguh, Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. Al-Baqarah, 148)

Jika dilihat secara lahirnya, pada ayat di atas memang tidak secara langsung menyebutkan kata qiblat, melainkan kata وجهة . Namun jika melihat konteks ayat sebelum dan sesudahnya, kita akan mengetahui mengapa kebanyakan mufassir memaknai kata tersebut dengan kiblat.

Tentang Kiblat

Menurut pengertiannya, kata kiblat berarti arah, yaitu arah yang dituju umat Islam dalam sebagian konteks ibadah, termasuk dalam salat. Selain untuk shalat, kiblat juga merupakan arah berihram dalam haji, arah wajah hewan saat disembelih, arah jenazah Muslim saat dimakamkan, arah yang dianjurkan untuk berdoa, serta arah yang mesti dihindari saat buang hajat. 

Bagi umat Islam, arah kiblat ini menuju kepada bangunan Ka'bah di Masjidil Haram, Makkah, yaitu bangunan suci yang dahulu dibangun oleh Nabi Ibrahim dan putranya, Nabi Ismail. Namun tahukah anda bahwa sebelum diperintahkan menghadap Ka'bah ketika shalat, kaum Muslimin pada zaman Rasulullah juga pernah berkiblat ke arah Baitul Makdis di Palestina saat melaksanakan shalat.

kiblat
Baitul Maqdis dan Ka'bah

Menurut sejarah, Rasulullah SAW dan para sahabatnya pada mulanya pernah diperintahkan oleh Allah SWT untuk berkiblat ke arah Baitul Maqdis (Rumah Suci) di Yerussalem, Palestina. Namun saat turun firman Allah dalam surah Al Baqarah ayat 144, umat Islam kemudian diperintahkan untuk mengubah arah kiblatnya menuju Ka'bah di Makkah.

Saat itu, Rasulullah SAW dan kaum Muslimin sedang melaksanakan shalat dzuhur berjamaah di masjid Bani Salamah dan baru saja menyelesaikan rakaat kedua. Sesaat setelah perintah Allah tersebut turun,  Rasulullah dan para jamaahnya pun kemudian mengubah arah kiblat mereka dari arah Baitul Makdis menuju ke arah Ka'bah di Makkah. Dari peristiwa bersejarah ini, hingga sekarang Masjid Bani Salamah akhirnya juga dikenal dengan nama Masjid Qiblatain (masjid dua kiblat).

Pada mulanya, perubahan arah kiblat ini sempat menyebabkan timbulnya rasa keberatan dari kalangan ahli kitab dan sebagian kaum Muslimin. Namun dalam surah Al Baqarah ayat 177, Allah kemudian memberikan penjelasan dengan cara bijaksana bahwa tujuan pengalihan kiblat itu tiada lain agar orang-orang beriman menaati segala apa yang diperintahkan Allah, termasuk menaati penentuan arah kiblat dalam shalat yakni menghadap Ka'bah di Makkah. Ulama Fiqih juga sepakat bahwa berkiblat ke arah Ka'bah di Makkah merupakan kewajiban sewaktu shalat, kecuali dalam kondisi-kondisi tertentu seperti dalam perjalanan, sakit, atau keadaan bahaya.

Anjuran Berlomba-lomba dalam Kebaikan

berangkat ke masjid
via islampos.com

Maksud "fastabiq" (dari kata sibaq) pada surah Al Baqarah ayat 148 ini yaitu anjuran bagi manusia untuk berlomba-lomba menjadi yang terdepan atau pelopor dalam berbuat kebajikan. Sedangkan makna kata "al khairat" adalah mencakup seluruh amalan, baik yang wajib maupun sunnah, mulai dari shalat, puasa, zakat, shadaqah, dan amalan-amalan lainnya. Hal ini juga memberikan pengertian bahwa sebagai umat Islam kita juga mesti memanfaatkan waktu seoptimal mungkin dengan saling berlomba-lomba dalam beribadah kepada Allah. 

Selain itu, ungkapan ini sebetulnya juga bisa dimaknai sebagai anjuran bagi umat manusia untuk saling berlomba-lomba dalam hal yang bermanfaat bagi kesejahteraan umat manusia secara umum, baik secara lahiriah maupun batiniah. Hal-hal itu dapat diwujudkan misalnya dalam menjaga dan menciptakan kebersihan, keindahan, ketentraman, keamanan, ketertiban, serta berlomba-lomba dalam peningkatan bidang ilmu pengetahuan dan teknologi.

Setiap umat Islam memang hendaknya menggunakan akal dan segenap kemampuannya untuk berlomba-lomba dalam kebaikan, baik dari segi ibadah maupun kebajikan-kebajikan lainnya. Hal ini penting agar kemaslahatan hidup bersama dapat tercapai dan pastinya sebagai bekal amal untuk menuju kehidupan berikutnya di akhirat nanti. Dan seperti tertuang pada bagian akhir surah Al Baqarah ayat 148 ini, pada hari Kiamat nanti kita semua akan dikumpulkan dan diadili dengan seadil-adilnya tentang perbuatan yang kita lakukan ketika di dunia. Pada saat itu pula akan diketahui dengan jelas siapa di antara kita yang paling baik amalnya. Wallahu A'lam. 

Senin, 11 Mei 2020

Al Qur'an dan Ilmu Pengetahuan (Sains)

Salah satu peristiwa penting yang terjadi di bulan Ramadhan adalah peristiwa turunnya Al Qur'an, atau yang biasa diperingati sebagai hari Nuzulul Qur'an (secara harfiah berarti turunnya Al-Qur'an). Di Indonesia, moment peristiwa ini secara khusus biasa diperingati setiap tanggal 17 Ramadhan, dimana setelah ibadah shalat tarawih biasanya diisi dengan khataman Al Qur'an dan acara ceramah atau pengajian bertemakan Nuzulul Qur'an. 

membaca Al Qur'an

Al Qur'an merupakan kitab suci utama dalam agama Islam, sehingga setiap Muslim mesti menjadikannya sebagai pedoman hidup agar dapat memperoleh kebahagiaan di dunia dan akhirat. Oleh karenanya, berbahagialah ia yang telah mengamalkan ajaran Al Qur'an, karena berarti ia telah menyucikan jiwanya, dan merugilah ia yang sikap perilakunya menyimpang dari ajaran Al Qur'an, karena berarti ia telah mengotori jiwanya dengan noda dan dosa. 

Kedudukan Al Qur'an atas Kitab-Kitab Allah Lainnya

Dalam ajaran Islam, beriman kepada kitab-kitab Allah adalah termasuk rukun iman. Oleh karena itu, hukum beriman kepada kitab-kitab Allah adalah fardhu 'ain. Perlu diketahui bahwa sebelum turunnya wahyu Al Qur' an kepada Nabi Muhammad SAW, Allah juga telah menurunkan kitab-kitab lainnya kepada para Nabi sebagaimana tercantum dalam Al Qur'an. Kitab-kitab tersebut adalah:
  • Taurat, diturunkan kepada Nabi Musa As (lihat QS. Al Maidah, 44)
  • Zabur, diturunkan kepada Nabi Daud As (lihat QS. Al Isra, 55)
  • Injil, diturunkan kepada Nabi Isa As (lihat QS. Al Maidah, 46)
  • Shahifah-shahifah atau lembaran-lembaran firman Allah kepada Nabi Ibrahim As dan Nabi Musa As (lihat QS. An Najm, 36-37)
Terhadap Kitab-kitab Allah dan shahifah-shahifah sebelum Al Qur'an turun, setiap Muslim harus beriman secara ijmali, artinya harus percaya saja. Kita mengakui dan menghormati kedudukan kitab-kitab tersebut yang dijadikan pedoman hidup oleh umat-umat terdahulu sebelum turunnya Al Qur'an. Sedangkan mengetahui dan mengamalkan ajaran-ajaran yang terkandung di dalam kitab-kitab tersebut bukan merupakan suatu kewajiban. Hal ini disebabkan karena kedudukan Kitab-kitab Allah dan shahifah-shahifah tersebut sebagai pedoman hidup umat manusia telah berakhir setelah wahyu Al Qur'an turun. 

Al Qur'an adalah Kitab Allah terakhir yang diturunkan kepada Rasul terakhir Nabi Muhammad SAW (lihat QS. Ali Imran, 2-4). Seluruh umat manusia yang hidup sejak Al Qur'an turun sampai akhir zaman wajib menjadikan Al Qur'an sebagai pedoman hidupnya. Sikap dan perilaku seorang Muslim terhadap Al Qur'an adalah wajib beriman secara tafshili, artinya harus meyakini akan kebenarannya, mengetahui isi ajarannya, dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. 

Seseorang yang menjadikan Al Qur'an sebagai pedoman hidup tentu akan membuktikan imannya dengan sikap dan perilaku sebagaimana ajaran dalam Al Qur'an. Selain itu, Al Qur'an juga akan menjadi obat mujarab bagi penyakit mental umat manusia apabila mereka meyakini kebenaran Al Qur'an dan mengamalkan seluruh ajarannya.

Al Qur'an dan Ilmu Pengetahuan

kandungan Al Qur'an

Al Qur'an merupakan mukjizat terbesar yang dikaruniakan Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW sebagai bukti akan kerasulannya, dan wujudnya ada sampai sekarang bahkan sampai akhir zaman. 

Salah satu di antara kemukjizatan Al Qur'an sebagai kalam Allah adalah struktur bahasa/kesusastraannya yang sangat indah, sehingga para ahli syair dan para sastrawan dari masa Nabi Muhammad SAW masih hidup sampai sekarang ini tidak ada yang mampu menandinginya. Selain itu, isi dalam Al Qur'an juga terkandung isyarat ilmiah yang mendorong umat manusia untuk mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi serta meningkatkannya ke arah yang lebih maju. 

Al Qur'an bukanlah buku ilmu pengetahuan dan teknologi, namun di dalamnya terkandung ayat-ayat yang membicarakan tentang iptek. Hal ini dimaksudkan agar umat manusia senantiasa mengadakan pengkajian, penelitian, dan pengamatan tentang iptek untuk kesejahteraan umat manusia. Allah SWT berfirman, "Katakanlah: perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi..." (QS. Yunus, 101). 

Rasulullah SAW juga pernah bersabda, "Barangsiapa menghendaki ilmu pengetahuan, hendaknya ia memperhatikan Al Qur'an, karena sesungguhnya di dalam Al Qur'an itu dimuat kabar-kabar ilmu orang-orang dahulu dan yang akhir" (HR. Ibnu Mas'ud).

Ayat Al Qur'an dan hadits tersebut merupakan tantangan bagi umat manusia untuk mempelajari, mengembangkan, dan meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi tentang langit, bumi, dan segala isinya melalui petunjuk-petunjuk Al Qur'an. Di dalam Al Qur'an terdapat ayat-ayat yang berhubungan dengan iptek, di antaranya yaitu:
  1. Ayat yang berhubungan dengan ilmu hewan. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya pad binatang ternak itu benar-benar terdapat pelajaran bagi kamu." (QS. An Nahl, 66). Atau firman Allah dalam ayat lainnya, "Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air, maka sebagian dari hewan itu ada yang berjalan di antara perutnya dan sebagian berjalan dengan dua kaki, sedangkan sebagian (yang lain) berjalan dengan empat kaki. Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya, sesungguhnya Allah Maha kuasa atas segala sesuatu" (QS. An Nur, 45). 
  2. Ayat yang berhubungan dengan proses kejadian manusia secara biologis. Allah SWT berfirman, "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian Kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu Kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu Kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu Kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu Kami bungkus dengan daging. Kemudian Kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta Yang Paling Baik." (QS. Al-Mu'minun, 12-14). 
  3. Ayat yang berhubungan dengan ilmu jiwa (psikologi). Allah SWT berfirman, ".. Dan jiwa serta penyempurnaan (ciptaan) Nya, maka Allah mengilhamkan kepada jiwa itu (jalan) kefasikan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang menyucikan jiwa itu dan merugilah orang yang mengotorinya". (QS. Asy Syams, 7-10).
  4. Ayat yang berhubungan dengan astronomi, dimana berisi tantangan Allah terhadap umat manusia untuk menjelajahi segala penjuru langit dan bumi. Allah SWT berfirman, "Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, maka tembuslah. Kamu tidak akan mampu menembusnya kecuali dengan kekuatan." (QS. Ar Rahman, 3). 
  5. Ayat yang berhubungan dengan penciptaan alam semesta dalam enam masa. Allah SWT berfirman, "Dan Dialah yang menciptakan langit dan Bumi dalam enam masa, dan 'Arsy-Nya di atas air, agar Dia menguji siapakah di antara kamu yang lebih baik amalnya..." ( QS. Hud, 7). Ternyata penegasan Al Qur' an ini sesuai dengan penjelasan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. 
  6. Dan masih banyak lagi yang lainnya. 
Dari uraian di atas, dapat dipahami bahwa Al Qur'an merupakan pedoman hidup bagi seluruh umat manusia sampai akhir zaman. Ajaran-ajarannya sangat lengkap dan sempurna sesuai dengan situasi serta kondisi, serta berlaku sepanjang zaman. Jika ajaran-ajaran Al Qur'an itu kita amalkan, maka kita akan memperoleh ketentraman, kedamaian, dan kesejahteraan bersama di dalam hidup. Wallahu A'lam.